Sabtu, 05 September 2009

Menatap 1000 Bulan

Allah Azza Wa Jalla berfirman : "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar". (QS. Al Qadar : 1-5) Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam "Lailatul Qadar", yaitu suatu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan dan penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu merupakan malam permulaan diturunkannya Kitab Suci Al-Qur'an, yaitu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam, menjadi petunjuk kehidupan bagi segenap ummat manusia, sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terhimpun Wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai serta mengamalkannya. Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang terakhir diturunkan Allah Swt, yang kandungannya mencakup segala pokok-pokok syari'at yang terdapat dalam Kitab-kitab Suci yang diturunkan sebelumnya. Oleh karena itu setiap orang yang mempercayai Al-Qur'an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, cinta untuk mempelajari dan memahaminya serta cinta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.

Dalam rangka menyambut malam "Nuzulul Qur'an" dan (malam) "Lailatul Qadar" di bulan Ramadhan tahun 1430 H. inilah, maka patut kita renungkan pemikiran dan uraian seorang filosof muslim, Dr. Damardjati Supajar, dalam buku Filsafat Islam,di bawah judul Sosok Perspektif Filsafat Islam Tinjauan Aksiologis, hal. 49 s/d 52, yaitu sebagai berikut :

"The creation ... is not an event which happened in the remote past but is rather a living reality of the present. Creation is a process of evolution of which man is not merely a witness but a participant and a partner as well. (Theodosius Dobzhansky)

Pada tanggal 29-9-1991, ketika jaringan TV Jepang dan TVRI (Pusat) bersama-sama mengangkat masalah kemisterian Borobudur dalam satu paket film dokumenter berjudul The Mystery of Borobudur, terjadilah diskusi yang menarik mengenai patung "unfinished Buddha", justru bukan karena pembuatannya yang belum selesai, melainkan disengaja demikian untuk menyatakan sesuatu yang "belum selesai", artinya masih dalam proses. Ungkapan demikian itu mengingatkan kita kepada suatu buku yang berjudul The Unfinished Universe, karya Louise B.Young. Kata-kata Dobzhansky yang dikutip di atas adalah pembuka kata pengantar pada buku tersebut (Young, L.B. 1987, h. 9).

Kalau setiap kali kita menatap Borobudur dan menangkap "pesan" perihal 1000 ksatria yang terkurung dalam sangkar, dan lalu memahaminya dalam kerangka "pesan" sebelumnya - yaitu ketika 1000 patung atau candi persembahan Bandung Bondowoso untuk Pradnyaparamita, yang ternyata belum terselesaikan dalam waktu satu malam - kiranya adalah tidak arif kalau pemahaman kita itu tidak menyentuh dataran aksiologis. Kebekuan membatu dan mematungnya candi-candi di Prambanan serta keterkurungan ksatria-ksatria di dalam sangkar, bisa jadi terjadi pada diri kita dalam kaitan rasional dengan serba percepatan kehidupan modern kini, lebih-lebih nanti. Permasalahan aksiologisnya ialah, bagaimana "rahasia" membuat hidup patung 1000 dan membebaskan ksatria 1000? Itulah tugas kita, mission kita, agar kita tidak lagi "mematung" dan "terkurung" dalam kegelapan. Rahasianya adalah "menatap 1000 bulan", mengalami terang benderang makna dan maksud kejadian seperti menatap 1000 bulan purnama yang kejelasannya mencakup satuan waktu 1000 bulan, yaitu kira-kira 82 tahun. Itulah makna orientasi atau njangka "nawang wulan". Adapun lakunya, jangkahnya, langkahnya, ialah Hanyokrokusumo, mengembangkan kwalitas bunga yang berkembang atas bimbingan cahaya bulan.

Apakah yang terang benderangnya tak diragukan lagi untuk masa 1000 bulan? Kematian, kalau kita ingat bahwa peristiwa terang benderang ke-qur'an-ian itu dialami Nabi Muahmmad Saw., ketika beliau berusia 40 tahun. Dalam hubungannya dengan kematian, kita berpegang pada ayat :"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran : 102). Jika demikian, kita lalu sadar bahwa bukannya kematian untuk kematian, melainkan kematian untuk kesaksian (syahadat), karena Islam itu berdiri di atas landasan syahadat. Demikian pula pergelaran alam raya ini, adalah verifikasi syahadat dengan bahasa objektif. Kalau nanti alam ini sudah digulung dan yang ada hanya tinggal wajah Allah, maka pernyataan kebenarannya tetap sama, yaitu Laa Ilaaha Illal-Laah, oleh Allah sendiri, Maaliki Yaumid-Dien. Itulah norma senormal-normal normatif,yang apabila diukur secara intelektual menunjuk kepada angka 100, justru karena rumus kecerdasan itu adalah IQ = MA/CA x 100%. MA (Mental Age) yang paling tinggi syahadat; CA (Chronological Age) terbesar atau terpanjang adalah bentangan penciptaan usia alam semesta ini. Maka kalau kita berhasil bersaksi sebenar-benar kesaksian - secara justifikatif - dalam tenggang waktu yang jauh lebih pendek atau singkat dari pada umur alam, maka kiranya kita menjadi sosok yang cerdas, sebab MA-nya tetap sedang CA-nya mengecil, yaitu sepanjang hayat kita. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa pegangan hidup bagi mereka yang pada saat sakaratul maut-nya berpegang pada syahadat, akan dijamin masuk syurga.

Jadi sebaik-baik pengakuan, ialah pengakuan yang benar. Sebenar-benar pengakuan ialah syahadat. Seindah-indah syahadat ialah syahadat Allah, oleh-Nya, untuk-Nya. Kewajiban memohon ampun berlaku bagi kesalahan pengakuan; kewajiban melakukan koreksi, bagi kesalahan perbuatan.

Sekali lagi, setinggi-tinggi nilai ialah syahadat, setinggi-tinggi syahadat itu syahadat dari Allah, oleh-Nya, untuk-Nya, Maaliki Yaumid-Dien. Itulah setepat-tepat posisi Dien, sehingga jelaslah bahwa Innad-Diina 'Indallaahil-Islaam. Rahasia "waktu" lebih rumit dari pada rahasia "alam". Pengakuan itu menuntut koherensi/konsistensi sepanjang acuan temporal, pembuktian itu menuntut korespondensi struktural/ fungsional, sedemikian rupa sehingga jelaslah pola parsialitas dan integralitasnya suatu peran, mana peran pelengkap penderita, pelengkap penyerta, pelengkap pelaku, subjek pelaku. Untuk itulah perlunya suatu telaah tentang fakta, faktor, fungsi, peran dan misi.

Alam ini adalah pergelaran tahmid, "Al-hamdulil-laahi rabbil'aalamiin". Yang demikian itu berlaku secara universal, sepanjang masa, sepanjang waktu secara objektif. Dari alam-lah kita mempelajari kualitas perbuatan yang terpuji, dan melakukan koreksi apabila kita berbuat salah. Celupan alami itu meyakinkan, akan tetapi lambat dan memerlukan pengulangan demi pengulangan. Adapun Muhammad Abduhu itu adalah subjektifikasi dari tahmid alam tadi. Itulah makna kelahiran Muhammad yang identik dengan alam semesta ini. Adapun kebatinan Muhammad adalah Muhammad Rasulul-Laah Saw., yang identik dengan Nur Muhammad, pancaran wajah Allah, Nurun Alaa Nuur.

Itulah risalah islami universal dan eternal, awal-akhir, lahir bathin. Dimensi temporal - awal-akhir - dan dimensi spasial - lahir-bathin - terpadu berkat Rahman dan Rahim-Nya, yaitu manakala seseorang benar-benar memahami perannya sebagai Abdullah. Terhadap semesta kelahiran, hakekat ke-Abdul-Lah-an itu justru memerankan peran ketuhanan, terhadap semesta kebatinan, hakekat ke-Abdul-Laah-an itu justru merupakan ujung mata pedang kesaksian syahadat-Nya, Laa-Ilaaha-Illal-Laah. Momentum seperti itu oleh Iqbal, dihayati sebagai Eternal Now".