Jumat, 30 Oktober 2009

TAKE and GIVE (Bagian 2)

Kemudian, apabila kita pahami sedikit lebih mendalam menganai faktor-faktor yang menjadikan seorang nasabah merasa aman dan nyaman, adalah bukan semata-mata karena hadiah atau keuntungan yang besar yang ia peroleh, melainkan juga karena adanya faktor keparcayaan nasabah itu sendiri terhadap pengelola sebuah bank  Sehingga apabila seorang nasabah tidak memiliki kepercayaan terhadap pengelola bank, tempat di mana ia menyimpan uangnya, maka bukannya ketenangan dan ketenteraman yang ia rasakan melainkan kecemasan dan kekhawatiranlah yang selalu menyelimuti hatinya dan mencekam pikirannya, sebab  dia  selalu khawatir uang miliknya tidak akan kembali. Dengan demikian, percaya adalah merupakan faktor utama untuk memperoleh ketentraman hati dan ketenangan jiwa dan  sekaligus merupakan faktor utama untuk  dapat melakukan sebuah tindakan (membuka rekening/menabung). Sedangkan tindakan adalah merupakan manifestasi dari sebuah kepercayaan  atau keyakinan yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, meskipun setiap hari datang ke kantor bank dan menyerahkan uangnya ke seorang kasir misalnya, maka dia  (nasabah) sama sekali tidak akan merasa rugi dan tidak pula merasa dirugikan, malah sebaliknya, yaitu sangat senang dan gembira karena bisa menabung setiap hari dan merasa beruntung karena akan memperoleh keuntungan yaitu berupa bunga yang berlipat ganda.
Begitu juga dengan seorang hamba Allah yang beriman dan bertakwa  kepada-Nya ketika melakukan kebajikan atau memberikan sebagian harta bendanya kepada orang lain, adalah bukan semata-mata kerena adanya janji-janji-Nya yang akan melipat gandakan pahala setiap amal kebajikan yang dilakukan oleh seorang hamba, melainkan lebih kerena adanya faktor kepercayaan atau keimanan dan keyakinan seorang hamba itu sendiri kepada Tuhannya, Dzat Yang Maha menepati janji, yaitu Allah Rabbul 'Izzati. Sehingga, meskipun setiap saat membagi-bagikan harta kekayaannya kepada orang lain, maka dia  (hamba Allah) sama sekali tidak akan pernah merasa susah, resah maupun gelisah, dan tidak pula merasa rugi ataupun dirugikan,  malah sebaliknya yaitu dia akan selalu merasa senang dan gembira dengan penuh ketulusan dan keikhlasan dan lapang dada serta merasa sangat beruntung, karena dapat menunaikan perintah-perintah-Nya.  Sebaliknya, apabila di dalam hati kita tidak ada rasa keimanan karena mungkin iman kita hanya baru sebatas ucapan atau mungkin juga iman kita masih terlalu tipis, maka bukannya ketenangan jiwa dan ketenteraman hati yang kita rasakan melainkan kegelisahan dan keresahanlah yang akan selalu menyertai diri kita,  yang akan menyelimuti hati kita, bahkan sangat mungkin akan timbul berbagai  macam keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan yang sangat mendalam, yaitu misalnya takut miskin dan lain sebagainya. Padahal timbulnya rasa kekhawatiran itu  adalah berasal dari musuh kita sendiri, yaitu syaitan, yang selalu menghembuskan bisikan-bisikannya ke dalam dada/hati kita, agar supaya kita berbuat jahat dan munkar. Na'uudzu Billaahi Min Dzaalik. Oleh karena itulah saya mengatakan bahwa "Berterima kasih pada saat menerima pemberian adalah sangat mudah diucapkan dan tidak sulit untuk dilakukan. Sedangkan merasa beruntung pada saat memberi adalah sangat sulit untuk diwujudkan, kecuali oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla.
Jadi, dengan cara mengambil i'tibar dari seorang nasabah sebuah bank itulah kita akan memperoleh pengetahuan dan pengertian serta pemahaman tentang berbagai macam masalah yang berkaitan dengan ibadah amaliah kita ketika hidup di alam dunia ini. Baik ibadah amaliah dhohiriyah maupun ibadah amaliah batiniyyah, khususnya yang berkenaan dengan  masalah perinsip-perinsip kehidupan berumah tangga, yaitu Take and Give. Sehingga, apabila kita merasa rugi pada saat memberi misalnya, maka kita hendaklah menanyakan kepada diri kita sendiri mengenai keyakinan kita, tentang keimanan kita, kwalitas ibadah dan ketakwaan kita kepada Sang Pencipta alam semesta yang nyata-nyata telah mengingatkan kepada diri kita bahwa "Barangsiapa berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali kepada dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka kejahatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri pula". Dan sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla tidak pernah dan tidak akan merugikan hamba-hamba-Nya walau sedikit pun, sebagaimana secara matematis telah kami jelaskan pada bagian pertama artikel Take and Give ini. Sungguh apalah artinya sebuah pengakuan atau pernyataan bila tanpa bukti. Ingat ...! Setiap pernyataan menuntut pembuktian. Apalah artinya kita mengaku beriman kepada Allah Azza Wa Jalla, sementara  ibadah amaliyah kita, kita kerjakan dengan penuh keragu-raguan. Dan apalah gunanya bila kita percaya kepada pengelola sebuah bank misalnya, tetapi kita sendiri tidak pernah menyimpan uang di sana. Tentulah tidak ada gunanya sama sekali.
Pada bagian pertama artikel Take and Give ini, kami telah mengemukakan bahwa "... sesungguhnya setiap manusia itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi orang kaya sekaligus menjadi orang miskin. Sehingga dalam kehidupan sebuah rumah tangga  sangat mungkin terjadi suaminya orang kaya sementara isterinya miskin atau sebalikanya, yaitu suaminya miskin sedangkan isterinya kaya raya. Dalam kondisi semacam inilah kita perlu memahami pengertian saling memberi dan menerima (Take and Give) suapaya pengorbanan kita, baik kita sebagai seorang suami maupun sebagai seorang isteri, tidak sia-sia. Dan terutama sekali adalah supaya hati kita merasa beruntung pada saat memberi", maka, termasuk salah satu masalah yang perlu dan penting untuk kita pahami adalah bagaimanakah caranya supaya kita pandai berterima kasih pada saat memberi.  Sekali lagi berterima kasih pada saat memberi, yakni bukan berterima kasih pada saat menerima pemberian. Jadi,disamping merasa beruntung juga berterima kasih. Dengan memahami masalah ini, insya Allah hati kita akan merasa tenteram dan jiwa kita pun akan menjadi tenang.
Mengapa kita (harus) berterima kasih pada saat memberi? 
(Bersambung)

Selasa, 27 Oktober 2009

TAKE and GIVE (Bagian 1)

Take and Give, adalah salah satu perinsip dalam kehidupan berumah tangga. Yaitu antara seorang suami dengan seorang isteri.  Dimana kalimat "take and give" ini, mengandung makna saling memberi dan menerima, baik yang bersifat/berbentuk materi maupun non materi. Apabila perinsip tersebut dipegang teguh oleh kedua belah pihak, maka Insya Allah, kehidupan sebuah rumah tangga akan berjalan dengan baik dan penuh bahagia. Saling pengertian dan se-ia se-kata dalam setiap langkah  untuk  mewujudkan rumah tangga yang harmonis, sakinah, mawaddah warahmah. Sebaliknya, jika salah satu pihak ada yang mengabaikan perinsip-perinsip tersebut, maka tidaklah mustahil bila ada pihak lain yang merasa dirugikan, baik secara moral maupun materil. Oleh karena itu, baik suami maupun isteri hendaklah memahami makna "Take and Give"  ini dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehar-hari.
Secara garis besarnya, ada dua kemungkinan di dalam kehidupan sebuah rumah tangga bila ditinjau dari segi ekonomi, yaitu : Kuffu (berimbang) dan Tidak Kuffu (tidak berimbang). Berimbang (kuffu), yaitu kedua belah pihak memiliki harta kekayaan yang setara atau sederajat, misalnya golongan ekonomi kelas bawah + kelas bawah;; kelas menengah + kelas menengah; dan ekonomi kelas atas + kelas atas. Tidak berimbang (tidak kuffu), yaitu  salah satu pihak memiliki harta kekayaan yang lebih tinggi dari yang lainnya, misalnya : kelas menengah + kelas bawah; kelas atas + kelas bawah; kelas atas + kelas menengah.
Oleh karena adanya kemungkinan-kemungkinan semacam itulah, maka pemahaman kita terhadap perinsip kehidupan berumah tangga perlu dipertajam dan diperjeles supaya kita pandai berterima kasih pada saat menerima dan merasa beruntung pada saat memberi. Berterima kasih pada saat menerima pemberian adalah sangat mudah diucapkan dan tidak sulit untuk dilakukan. Sedangkan merasa beruntung pada saat memberi adalah sangat sulit untuk diwujudkan, kecuali oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla. Oleh karena itu, kita perlu menelaah kembali firman Allah Azza Wa Jalla, dalam surat Al Baqarah ayat 221, bilamana kita hendak menjalin hubungan hidup berumah tangga (nikah) dengan seseorang, yaitu yang artinya : "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman adalah lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min adalah lebih baik dari pada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (QS.Al Baqarah: 221).
Pertanyaannya adalah mengapa hanya orang-orang yang beriman dan bertakwa saja yang akan merasa beruntung pada saat memberi? Nah, itulah pertanyaan mendasar yang perlu kita cari jawabannya, supaya hati kita selalu  tenteram, tenang dan merasa beruntung pada saat kita memberikan sesuatu kepada orang lain (suami atau isteri). Namun, sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu kemungkinan-kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan perkembangan ekonomi kita pada saat kita membangun sebuah rumah tangga. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu : menurun, tetap, dan meningkat dari sebelumnya. Tiga kemungkinan ini bisa saja terjadi pada salah satu pihak bahkan tidaklah mustahil bila akan dialami oleh keduanya,  baik suami maupun isteri. Sehingga kemungkinan-kemungkinannya adalah sebagai berikut: Suami/meningkat + Isteri/meningkat; Suami/meningkat + isteri/tetap; suami/meningkat + isteri/menurun; Suami/tetap + isteri/meningkat; suami/tetap + isteri/tetap; suami/tetap + isteri/menurun; Suami/menurun + isteri/meningkat; suami/menurun + isteri/tetap; suami/menurun + isteri/menurun.
Itulah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada diri kita, baik kita sebagai seorang suami maupun sebagai seorang isteri. Mengapa demikian? Karena, sesungguhnya setiap manusia itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi orang kaya sekaligus menjadi orang miskin. Sehingga dalam kehidupan sebuah rumah tangga  sangat mungkin terjadi suaminya orang kaya sementara isterinya miskin atau sebalikanya, yaitu suaminya miskin sedangkan isterinya kaya raya. Dalam kondisi semacam inilah kita perlu memahami pengertian saling memberi dan menerima (Take and Give) suapaya pengorbanan kita, baik kita sebagai seorang suami maupun sebagai seorang isteri, tidak sia-sia. Dan terutama sekali adalah supaya hati kita merasa beruntung pada saat memberi.
Memang,  kedengarannya aneh dan tidak masuk akal, mana mungkin ada, orang memberi merasa beruntung? Betul....!!!. Namun, hendaklah diketahui bahwa apa yang saya katakan tadi, sebenarnya adalah masuk akal, dalam arti bahwa kita akan merasa beruntung bilamana ada sesuatu yang menguntungkan  Sekarang bagaimanakah caranya supaya masuk akal, sehingga hati kita merasa beruntung pada saat kita memberikan sesuatu kepada orang lain? Untuk itu marilah kita gambarkan tentang pemahaman atau jawaban akal kita terhadap beberapa pertanyaan misalnya : 10 - 1 = ?, 10-2=?, 10-3=? dan seterusnya. Bilangan angka sepuluh (10) adalah gambaran tentang jumlah harta kekayaan kita sedangkan angka 1, 2, 3, dst. adalah jumlah harta kita yang  kita berikan kepada orang lain,  misalnya kepada seorang isteri, suami maupun kepada yang lainnya. Nah, supaya mudah  dipahami, maka baiklah kita klasifikasikan akal kita menjadi dua macam, yaitu : Akal Pertama dan Akal Kedua. Kemudian, perhatikan jawaban  kedua akal ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan  di atas. Akal Pertama akan menjawab atau mengatakan bahwa : 10 - 1 = 9, sedangkan Akal Kedua mengatakan bahwa : 10 - 1 =  9 + 1 + 700 =  710. Kemudian, Akal Pertama mengatakan bahwa : 10 - 2 = 8, sedangkan Akal Kedua mengatakan bahwa : 10 - 2 =  8 + 2 + 1.400 = 1.410  Selanjutnya, Akal Pertama mengatakan bahwa : 10 - 3 = 7,  sedangkan Akal Kedua mengatakan bahwa : 10 - 3 = 7 + 3 + 2.100 = 2.110. Dan misalnya lagi 10 - 9 =Berapa? . Maka,  Akal Pertama akan menjawab bahwa 10 - 9 = 1, sedangkan Akal Kedua menjawab bahwa 10 - 9 =  1 + 9 + 6.300 = 6.310.
Dari uraian tersebut terlihat dengan jelas bahwa Akal pertama selalu memberi jawaban negatif (-) atau berkurang, yaitu 10-1=9, 10-2=8, 10-3=7, dan seterusnya, sedangkan Akal kedua selalu memberi jawaban positif (+), yaitu : 10-1=9+1+... = ...., 10-2=8+2+....=.... , 10-3=7+3+....=....., ..., 10-9=1+9+....=....., bahkan dilipat gandakan dengan menambahkan bilangan : 700, 1.400, 2.100, ..., 6.300, sebagaimana terlihat di atas.  Di mana bilangan-bilangan tersebut adalah merupakan hasil perkalian (x) dari bilangan 700 dengan bilangan 1, 2, 3, dst. Yaitu : 1 x 700 = 700, 2 x 700 = 1.400,  3 x 700 = 2.100,   .... 9 x 700 = 6.300. Sedangkan bilangan 700  ini adalah berasal dari bilangan 7 x 100,  sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman  Allah Azza Wa Jalla, surat Al Baqarah ayat 261, yang artinya : " Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih  yang menumbuhkan tujuh (7) bulir; pada tia-tiap bulir seratus (100) biji....." (QS. Al Baqarah : 261). Berarti :  7 x 100 = 700.
Dengan demikian, Akal Kedua menganggap dirinya selalu beruntung, tidak pernah merasa rugi, bahkan merasa senang dan gembira meskipun sebagian harta kekayaannya diberikan kepada orang lain, karena pada hakekatnya adalah tidak berkurang walau sedikit pun, yaitu: 10-1=9+1=10=tetap, atau 10-2=8+2=10=tetap, dan atau  10-9=1+9=10=tetap, bahkan bertambah dengan berlipat ganda sebagaimana telah kita lihat bersama.  Hal ini dapat kita umpamakan dengan seorang nasabah sebuah bank. Misalnya, seorang nasabah  mempunyai uang sebesar Rp. 10,- (sepuluh rupiah),  kemudian disimpan di bank dengan keuntungan  sebesar Rp. 700,- per 1 rupiah. Nah, apabila nasabah tadi menyimpan uangnya sebesar 1 atau 2 atau 3 atau 9 rupiah misalnya, maka secara keseluruhan jumlah uang  yang dimiliki oleh nasabah tadi adalah : Rp. 10 - 1 = 9 + 1 + 700 = Rp.710,- atau  Rp.10 - 2 = 8 + 2 + 1.400 = Rp. 1.410,-  atau  Rp. 10 - 3 = 7 + 3 + 2.100 = Rp. 2.110,-. atau Rp. 10 - 9 = 1 + 9 + 6.300 = Rp. 6.310,-  Sehingga, meskipun di dalam dompet seorang nasabah tadi hanya tersisa uang sebesar Rp. 1,- (satu rupiah) misalnya, namun oleh karena dia memiliki simpanan uang di bank dalam jumlah lebih dari cukup, maka dia tidak akan merasa susah, melainkan akan selalu senang dan gembira, bahkan akan merasa lebih beruntung bila dibandingkan dengan tidak menyimpan uangnya di bank. Atas dasar pemikiran semacam itulah, Akal Kedua mengganggap dirinya selalu beruntung dan merasa gembira pada saat memberi, sebagaimana kegembiraan seorang nasabah pada saat menyetor atau menambah uang tabungannya. Sekarang, mungkinkah kita akan memperoleh imbalan atau keuntungan yang berlipat ganda, misalnya sebesar Rp. 700,- per 1 rupiah? Jawabannya : Mungkin sekali, bahkan lebih dari itu pun bukanlah sesuatu yang mustahil. Contohnya adalah seorang penumpang pesawat terbang yang mengalami musibah atau kecelakaan. Dimana  hanya dengan membayar premi asuransi sejumlah puluhan atau ratusan ribu rupiah, dia akan menerima santunan sebesar puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Marilah kita bandingkan jawaban Akal Kedua terhadap pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tersebut di atas dengan saldo yang di miliki oleh seorang nasabah bank tadi. Apakah ada perbedaan atau mungkinkah justeru sama persis, tidak kurang dan juga tidak lebih?  Baiklah ....! Kita bandingkan: Jawaban Akal Kedua : 10 - 1 = 9 + 1 + 700 = 710, sedangkan saldo Nasabah adalah : 10 - 1 = 9 + 1 + 700 = Rp. 710,- (sama persis). Kemudian, jawaban Akal Kedua : 10 - 2 = 8 + 2 + 1.400 = 1.410, sedangkan saldo Nasabah adalah : 10 - 2 = 8 + 2 + 1.400 = Rp. 1.410,-.(sama persis). Kemudian, jawaban Akal Kedua : 10 - 3 = 7 + 3 + 2.100 = 2.110, sedangkan saldo Nasabah adalah : 10 - 3 = 7 + 3 + 2.100 = Rp. 2.110,- (sama persis). Yang terakhir, jawaban Akal Kedua : 10 - 9 = 1 + 9 + 6.300 = 6.310, sdangkan saldo Nasabah adalah : 10 - 9 = 1 + 9 + 6.300 = Rp. 6.310,- (sama persis). Nah, ternyata sama saja.  Dengan demikian tidaklah berlebihan dan tidak pula mengada-ada bila kita simpulkan bahwa jawaban Akal Kedua sebagaimana tersebut di atas adalah termasuk jawaban yang masuk akal. Sementara perbedaannya hanya terletak pada jenis tabungannya, yaitu Akal Kedua berupa tabungan akhirat, sedangkan seorang nasabah berupa tabungan dunia. Tabungan akhirat adalah lebih baik daripada tabungan dunia. Sehingga seorang ulama pernah mengatakan bahwa seandainya kehidupan dunia ini adalah bagaikan emas berlian sedangkan kehidupan akhirat adalah laksana tikar busuk, maka manusia wajib mencari tikar busuknya daripada emas berlian. Nah, bagaimana kalau seandainya di balik, yaitu misalnya kehidupan dunia adalah  bagaikan tikar busuk sedangkan kehidupan akhirat adalah laksana emas berlian? Tentulah akan lebih wajib  lagi bagi segenap ummat manusia yang berakal sehat. Karena, hidup di dunia adalah hanya sementara sedangkan hidup di akhirat adalah kekal abadi, selama-lamanya.
(Bersambung ke : TAKE and GIVE Bagian 2)

Jumat, 16 Oktober 2009

DIRIKU SELALU BERSAMAMU

Bila kau bersedih, hatiku pun sedih
Bila kau bahagia, hatiku pun bahagia
Bila kau menangis, diriku pun menangis
Bila kau tersenyum, aku pun tersenyum

Kesedihanmu adalah kesedihanku
Kebahagianmu adalah kebahagiaanku
Tangisanmu adalah tangisanku
Senyumanmu adalah senyumanku

Oleh karena itu ....
Janganlah kau mengatakan " ... tiada teman ..."
Dan jangan pula kau merasa kesepian

Ketahuilah ...wahai Gadis Ayu .... !!!!
Bahwa ....
Sesungguhnya diriku selalu bersamamu
Sayang dan setia sepanjang waktu.

Kamis, 15 Oktober 2009

AKU JATUH CINTA

Tiada salah, bagi orang yang dicintai
Tiada dosa, bagi orang yang disayangi
Salah dan dosa bukan karena dicintai
Dan juga bukan karena disayangi

Oleh karena itu ....
Janganlah kau merasa bersalah bila dicintai
Dan jangan pula merasa berdosa bila disayangi

Aku jatuh cinta bukan karena senyumanmu
Dan juga bukan karena kecantikan raut wajahmu
Melainkan karena kepribadianmu
Yang tercermin dalam tutur bahasamu.