
Begitu juga dengan seorang hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya ketika melakukan kebajikan atau memberikan sebagian harta bendanya kepada orang lain, adalah bukan semata-mata kerena adanya janji-janji-Nya yang akan melipat gandakan pahala setiap amal kebajikan yang dilakukan oleh seorang hamba, melainkan lebih kerena adanya faktor kepercayaan atau keimanan dan keyakinan seorang hamba itu sendiri kepada Tuhannya, Dzat Yang Maha menepati janji, yaitu Allah Rabbul 'Izzati. Sehingga, meskipun setiap saat membagi-bagikan harta kekayaannya kepada orang lain, maka dia (hamba Allah) sama sekali tidak akan pernah merasa susah, resah maupun gelisah, dan tidak pula merasa rugi ataupun dirugikan, malah sebaliknya yaitu dia akan selalu merasa senang dan gembira dengan penuh ketulusan dan keikhlasan dan lapang dada serta merasa sangat beruntung, karena dapat menunaikan perintah-perintah-Nya. Sebaliknya, apabila di dalam hati kita tidak ada rasa keimanan karena mungkin iman kita hanya baru sebatas ucapan atau mungkin juga iman kita masih terlalu tipis, maka bukannya ketenangan jiwa dan ketenteraman hati yang kita rasakan melainkan kegelisahan dan keresahanlah yang akan selalu menyertai diri kita, yang akan menyelimuti hati kita, bahkan sangat mungkin akan timbul berbagai macam keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan yang sangat mendalam, yaitu misalnya takut miskin dan lain sebagainya. Padahal timbulnya rasa kekhawatiran itu adalah berasal dari musuh kita sendiri, yaitu syaitan, yang selalu menghembuskan bisikan-bisikannya ke dalam dada/hati kita, agar supaya kita berbuat jahat dan munkar. Na'uudzu Billaahi Min Dzaalik. Oleh karena itulah saya mengatakan bahwa "Berterima kasih pada saat menerima pemberian adalah sangat mudah diucapkan dan tidak sulit untuk dilakukan. Sedangkan merasa beruntung pada saat memberi adalah sangat sulit untuk diwujudkan, kecuali oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla.
Jadi, dengan cara mengambil i'tibar dari seorang nasabah sebuah bank itulah kita akan memperoleh pengetahuan dan pengertian serta pemahaman tentang berbagai macam masalah yang berkaitan dengan ibadah amaliah kita ketika hidup di alam dunia ini. Baik ibadah amaliah dhohiriyah maupun ibadah amaliah batiniyyah, khususnya yang berkenaan dengan masalah perinsip-perinsip kehidupan berumah tangga, yaitu Take and Give. Sehingga, apabila kita merasa rugi pada saat memberi misalnya, maka kita hendaklah menanyakan kepada diri kita sendiri mengenai keyakinan kita, tentang keimanan kita, kwalitas ibadah dan ketakwaan kita kepada Sang Pencipta alam semesta yang nyata-nyata telah mengingatkan kepada diri kita bahwa "Barangsiapa berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali kepada dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka kejahatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri pula". Dan sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla tidak pernah dan tidak akan merugikan hamba-hamba-Nya walau sedikit pun, sebagaimana secara matematis telah kami jelaskan pada bagian pertama artikel Take and Give ini. Sungguh apalah artinya sebuah pengakuan atau pernyataan bila tanpa bukti. Ingat ...! Setiap pernyataan menuntut pembuktian. Apalah artinya kita mengaku beriman kepada Allah Azza Wa Jalla, sementara ibadah amaliyah kita, kita kerjakan dengan penuh keragu-raguan. Dan apalah gunanya bila kita percaya kepada pengelola sebuah bank misalnya, tetapi kita sendiri tidak pernah menyimpan uang di sana. Tentulah tidak ada gunanya sama sekali.
Pada bagian pertama artikel Take and Give ini, kami telah mengemukakan bahwa "... sesungguhnya setiap manusia itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi orang kaya sekaligus menjadi orang miskin. Sehingga dalam kehidupan sebuah rumah tangga sangat mungkin terjadi suaminya orang kaya sementara isterinya miskin atau sebalikanya, yaitu suaminya miskin sedangkan isterinya kaya raya. Dalam kondisi semacam inilah kita perlu memahami pengertian saling memberi dan menerima (Take and Give) suapaya pengorbanan kita, baik kita sebagai seorang suami maupun sebagai seorang isteri, tidak sia-sia. Dan terutama sekali adalah supaya hati kita merasa beruntung pada saat memberi", maka, termasuk salah satu masalah yang perlu dan penting untuk kita pahami adalah bagaimanakah caranya supaya kita pandai berterima kasih pada saat memberi. Sekali lagi berterima kasih pada saat memberi, yakni bukan berterima kasih pada saat menerima pemberian. Jadi,disamping merasa beruntung juga berterima kasih. Dengan memahami masalah ini, insya Allah hati kita akan merasa tenteram dan jiwa kita pun akan menjadi tenang.
Mengapa kita (harus) berterima kasih pada saat memberi?
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar