Senin, 29 Maret 2010

Menuju Islamisasi Paradigma Sains Posmodern 2

Oleh karena itu, sebagian ilmuwan Muslim kontemporer yang berpikir Newtonian enggan menerima filsafat Islam tradisional yang tak lain dari adaptasi logika dan metafisika substansialistik Arestoteles yang lebih menekankan substansi daripada proses, atribut daripada relasi. Adanya pengingkaran filsafat Islam tradiional oleh para ilmuwan Muslim kontemporer tentunya bukan berarti mereka menjadi kafir dan ateis. Soalnya, beriman pada eksistensi Tuhan dan kitab suci-Nya bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan secara logis dengan sebuah teori, melainkan sebuah postulat etis yang harus dibuktikan melalui praktik sehari-hari. Rasanya kita harus menghargai religiusitas mereka yang mirip-mirip pandangan Protestantisme di kalangan ummat Nasrani ini.

Revisi Fisika Modern terhadap Paradigma Newtonian

Namun, saya kira pandangan Newtonian klasik itu di awal abad ke-20 yang lalu mengalami sejumlah revisi radikal. Pertama oleh teori relativitas Enstein (khusus dan umum), lalu oleh teori kuantum. Teori relativitas khusus membongkar absolutisme ruang dan waktu Newtonian, seperti halnya teori Newton membongkar absolutisme diam dan gerak Arestotelian. Dengan teori relativitas khusus, kita tidak lagi melihat ruang sebagai wadah kosong yang berisi benda-benda, tetapi sebagai relasi antarbenda. Sedangkan teori relativitas umum menjadikan gaya gravitasi antarbenda sebagai manifestasi lengkungan pada ruang. Dengan demikian, ruang datar Euklideian tak berhingga dan terbuka yang dianggap mutlak oleh Newton telah digantikan ruang lengkung Riemannian yang berhingga dan tertutup.

Begitu pula teori relativitas telah menunjukkan bahwa materi tak lain dari sebuah bentuk energi, sedangkan energi itu tak lain dari kuantitas tetap dalam sebuah proses fisika. Energi gerak sebuah proses berasal dari energi yang tersimpan dalam benda-benda sebagai energi potensial. Energi potensial gravitasi adalah satu di antara banyak bentuk simpanan energi fundamental. Bentuk energi potensial lain adalah energi ikatan elektromagnetik dalam atom dan molekul. Bentuk lainnya adalah energi ikatan nuklir yang tersimpan dalam inti atom dan bagian-bagiannya berupa partikel proton dan netron serta medan meson pengikat mereka. Bentuk lainnya lagi tersimpan dalam energi nuklir lemah dalam netron sehingga partikel ini berpotensi meluruh menjadi proton dan elektron sehingga terjadi transmutasi inti.

Dalam persepektif baru ini, setiap proses fisika tak lain dari redistribusi bentuk energi. Ada dua bentuk transformasi energi fundamental. Yang pertama yang kita kenal sebagi gerak materi dan yang kedua adalah apa yang kita kenal sebagai penjalaran gelombang. Dalam gerak materi, energinya terpusat di sekitar suatu titik, sedangkan pada gelombang, energi tersebar di seluruh ruang. Dalam hal pertama, sistem fisik yang mengalaminya disebut sebuah partikel materi. Dalam hal kedua, sistem fisik yang mengalaminya disebut medan energi, seperti medan gravitasi dan medan listrik magnet. Gambaran untuk yang pertama adalah butir-butir pasir, sedangkan gambaran untuk yang kedua adalah lautan air.

Dalam pandangan klasik Newtonian, sistem fisik fundamental hanya bisa memiliki salah satu bentuk, yaitu partikel materi yang terpusat pada satu titik atau berbentuk gelombang medan energi yang memengaruhi seluruh ruang. Sebenarnya, Newton sendiri menganggap cahaya sebagai butiran-butiran yang disebutnya korpuskel. Dalam hal ini, dia menantang Huyghens yang berpandangan bahwa cahaya itu adalah gelombang bagaikan bunyi. Nyatanya kemudian fakta-fakta eksperimen tentang interferensi dan difraksi membuktikan bahwa Huyghenslah yang benar.

Namun, pandangan materialistik yang dominan waktu itu menuntut adanya medium materi untuk semua gelombang: karena itulah dihipotesikan adanya eter materi sangat halus yang memenuhi seluruh ruang. Hipotesis ini sesuai juga dengan pandangan Newton yang menganggap bahwa eter yang membawa gaya gravitasi antara benda-benda. Soalnya, dalam pandangan umum pada waktu itu tak mungkin diterima pendapat bahwa ada suatu benda memengaruhi benda lain tanpa adanya kontak. Ini adalah sisa-sisa fisika Arestoteles yang menafikan adanya vakum alias kekosongan.

Ketika Maxwell mengajukan teori bahwa cahaya itu tak lain dari gelombang elektromagnetik yang kemudian dibuktikan secara eksperimen oleh Hertz, teori eter merupakan penjelasan umum bagi semua gelombang elektromagnetik. Dengan demikian, sampai akhir hidupnya, paradigma Newtonian masih mewarisi konsep plenum, ketiadaan vakum, dalam ruang. Bedanya: fisika Newtonian memostulatkan adanya ruang yang tak berhingga atau tak terbatas, sedangkan ruang dalam fisika Arestoteles berhingga atau terbatas. Bagaimanapun, kedua ruang itu sama-sama dipenuhi oleh eter.

Namun, percobaan Michelson Morley, yang mengukur kecepatan cahaya, kemudian membuktikan kecepatan cahaya konstan sekaligus membuktikan bahwa cahaya sebenarnya tak ada. Padahal, kaum spiritualis sebelumnya memostulatkan eter sebagai substansi ruh atau jiwa seluruh makhluk hidup. Bahkan sebagian lagi mengatakan bahwa eter adalah ruh atau jiwa semesta alias Tuhan yang memenuhi seluruh ruang alam semesta. Jadi, pandangan monoteistik yang menjadi pasangan logis bagi fisika Arestoteles, telah digantikan oleh pandangan panteistik ala Spinoza bagi yang ingin menafsirkan fisika Newton secara teologis. Pandangan ini disindir sebagai pandangan "Ghost in the Machine". Tuhan ibarat hantu dalam mesin semesta dan Enstein telah mengusrnya dari mesin itu.

Sementara itu, eksperimen-eksperimen lain di paruh pertama abad ke-20, menunjukkan bahwa cahaya ternyata mempuyai karakteristik partikel, sedangkan elektron dan partikel-partikel elementer lainnya mempunyai karakteristik gelombang. Padahal, dalam paradigma Newtonian kedua karakteristik itu bertentangan satu sama lainnya. Dalam hal ini, sekali lagi tampak paradigma Newtonian masih mewarisi logika Arestoteles yang secara empiris dibuktikan tidak berlaku umum. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teor lain, yaitu teori kuantum yang ditemukan secara independen oleh Schrodinger, Heisenberg, dan Dirac. Yang mengejutkan, kali ini asumsi determinisme yang merupakan paradigma Newtonis harus dibuang. (Bersambung ke :  Menuju Islamisasi Paradigma Sains Posmodern 3 )

Tidak ada komentar: