Sabtu, 27 Maret 2010

Menuju Islamisasi Paradigma Sains Posmodern 1

Sedikitnya ada dua alasan pokok yang menyebabkan filsafat Aristotelian dan derivasinya - termasuk filsafat islam tradisional - tidak bisa diterima oleh para ilmuan modern setelah Newton. Yang pertama, fisika Aristotelian yang menganggap benda-benda pada dasarnya diam karena itu memerlukan gaya sebagai penggerak dari luar yang mendorong dan menarik. Yang kedua, konsep metafisika Tuhan sebagai Prima Causa alias Penyebab Pertama yang merupakan konsekuensi logis dari konsep fisikanya.

Asumsi fisika Aristotelian tentang gerak adalah berdasarkan pengalaman langsung sehari-hari. Namun, Galileo - yang diikuti Newton - membalik visi dasar yang menyesatkan itu. Menurut dia, benda itu pada dasarnya bergerak lurus dengan kecepatan tetap. Diam dan gerak adalah hal yang relatif. Gaya bukanlah penyebab gerak, melainkan penyebab perubahan-kecepatan, berupa percepatan, perlambatan, atau pembelokan. Gaya tak perlu dicari di luar alam semesta karena bersumber pada eksistensi benda-benda lain. Setiap benda, bergerak atau diam, memengaruhi atau saling memengaruhi gerak benda lain dalam bentuk gaya-gaya mekanik. Inilah pandangan mekanistik Newtonian.

Metafisika Aristoteles adalah perluasan logis dari fisikanya. Dalam pandangan fisika Aristotelian, karena tak mungkin ada gerakan tanpa digerakkan melalui sentuhan, maka dikonsepsikan adanya entelechy untuk makhluk hidup, nous untuk bintang-bintang dan Prima Causa untuk alam semesta pada keseluruhan. Semua itu bekerja pada eter yang pada gilirannya bekerja pada benda-benda membentuk rantai sebab penyebab gerak yang berujung pada sebuah Penyebab Pertama yang tidak bergerak. Oleh filosof Masysya'iyyah di kalangan Islam, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, Penggerak Pertama itu pun diidentifikasikan dengan Tuhan yang disebut dalam kitab suci. Inilah yang dikenal sebagai bukti kosmologis tentang eksistensi Tuhan.

Ketika gerak dan diam diketahui  sebagai suatu yang relatif dan gaya disadari sebagai bukan penyebab gerak, melainkan hanya pengubah gerakan, maka tak diperlukan mata rantai yang berujung pada Penyebab Pertama. Jadi, Tuhan tak diperlukan lagi untuk menjelaskan semua gerak benda-benda di bumi dan di langit, seperti matahari, bulan, planet, dan bintang-bintang. Semua gerak benda tak memerlukan penggerak nonmaterial, yang disebut akal atau malaikat, untuk mengarahkan gerakannya. Begitulah, tak diperlukan lagi sebuah Prima Causa yang menggerakkan akal-akal itu. Dengan demikian, konsep-konsep imaterial tak perlu dilibatkan untuk menjelaskan gerak dan gejala alam yang material. Dengan perkataan lain, mekanika tidak mendukung pembuktian adanya Tuhan dengan argumen kosmologis.

Walaupun demikian, Isaac Newton sendiri adalah seorang relegius yang percaya akan adanya kekuasaan Tuhan, bahkan dalam edisi pertama buku Principia Mathematica Philosophiae Naturalis, ia menuliskan bahwa ruang fisik tiga dimensi adalah mutlak yang tak berhingga itu sebagai sensorium Tuhan. Namun, belakangan Pierre de Laplace menulis bukunya, Machaniques Celeste, tantang gerak benda-benda angkasa tanpa menyebutkan satu pun kata Tuhan atau sinonimnya sehingga mengherankan sang Emperor Napoleon Bonaparte. Napoleon bertanya mengapakah Tuan Laplace tidak menuliskan nama Yang Mahakuasa itu dalam bukunya. Sang fisikawan itu menjawab bahwa dia tidak memerlukan hipotesis seperti itu. Tampaknya jawaban Laplace itu kemudian menjadi jawaban standar bagi setiap kritik agamawan terhadap sains yang dituduh ateistik.

Mungkin saja fisika tidak membutuhkan dan tidak bisa membuktikan adanya Tuhan secara ilmiah. Namun, itu bukan berarti eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan secara lain, secara filosofis misalnya. Bukti ontologis tentang adanya Tuhan adalah bukti populer yang juga dikenal dalam tradisi filsafat Islam. Begitu juga bukti teleologis. Bukti teleologis, bermula dengan menganalogikan alam dengan barang buatan manusia, seperti mesin. Karena dalam pandangan Newtonian alam adalah sebuah mesin raksasa, argumen teleologis mandapat dukungan, walaupun hanya merupakan analogi.

Bukti ontologis itu mulai dengan mengidentikkan konsep Tuhan dengan konsep Ada yang Niscaya (Wajib Al-Wujud). Ada yang Niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipikirkan tidak adanya. Cobalah pikirkan bahwa Ada itu tidak ada, pasti yang kita peroleh adalah kontradiksi ( x = bukan x ). Oleh karena itu, kebalikannyalah yang benar. Jadi, Ada Mutlak alias Wajib Al-Wujud itu ada. Namun, hal ini hanya membuktikan sebuah tautologi Ada itu ada ( A = A ) yang semua orang juga tahu. Kesalahan terbesar bukti ontologis adalah membuat pengubahan jenis kata: dari kata keadaan menjadi kata sifat dan akhirnya menjadi kata benda abstrak yang dimutlakkan, yaitu Ada alias Wujud.

Kata wujud ini dalam bahasa Arab adalah satu kata yang digunakan untuk menerjemahkan kata ontos dalam bahasa Yunani. Kata ini adalah kata yang dibuatkan kata padanannya dalam bahasa Arab ketika menerjemahkan literatur filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di abad ke-2 Hijriyah, lalu dijadikan kata sifat bagi Allah, sebuah kata sifat yang tak dikenal dalam Al-Qur'an. Sebagai akibatnya, timbullah perdebatan ilmu kalam tentang sama tidaknya antara dzat dan sifat, perdebatan mistis tasawuf antara wahdah al-wujud dan wahdah al-syuhud, perdebatan filosofis antara ashalah al-wujud dan ashalah mahiyyah. Bagi banyak ilmuwan modern Muslim kontemporer, perdebatan itu adalah perdebatan tentang kata-kata yang sama sekali tidak relevan, baik bagi sains maupun agama. (Bersambung ke: Menuju Islamisasi Paradigma Sains Posmodern 2 )

Tidak ada komentar: