Selasa, 28 Juli 2009

Dialog Burung Merpati 1

Sebagaimana pernah saya katakan bahwa guruku bukan hanya satu, melainkan lebih dari seribu ..., maka salah satunya adalah Burung Merpati atau Burung Dara. Dari burung merpati ini banyak sekali pelajaran-pelajaran yang sangat berharga dan berguna, baik dalam masalah cinta, kasih sayang, kesetiaan, kejujuran, perjuangan dan lain sebagainya. Sehingga, tidaklah bijaksana apabila pelajaran-pelajaran yang sangat berharga itu dilewatkan begitu saja apalagi disia-disiakannya.

Kelebihan Burung Merpati dari burung-burung lainnya adalah : Pertama, burung merpati pernah menjadi juru penyelamat sebatang pohon zaitun pada saat terjadinya banjir taofan di jaman Nabi Nuh a.s., sehingga sejak saat itu burung ini dijadikan lambang Kehidupan. Kedua, burung merpati pernah dijadikan ekperimen oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika beliau ingin mengetahui proses kebangkitan dari kematian. Sejak kejadian ini, burung merpati dijadikan lambang perjuangan, pengorbanan dan kesetiaan. Ketiga, burung merpati bersahabat dekat dengan manuisa, oleh karena itu burung merpati dijadikan lambang persahabatan. Keempat, burung merpati dapat mengenali pasangannya dari jarak puluhan, ratusan bahkan ribuan meter. Kelima, burung merpati dapat membedakan mana pasangannya dan mana pula yang bukan pasangannya. Keenam, burung merpati memiliki daya ingat yang kuat.

Dalam artikel Dialog Burung Merpati ini banyak sekali hal-hal (kalimat-kalimat) yang berlebihan, tidak masuk akal, mengada-ada, omong kosong dan lain sebagainya. Betul, saya akui. Namun, hendaklah diketahui bahwa tujuan dari artikel ini adalah menganalogikan suata keadan, peristiwa, kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari, baik yang pernah saya lihat, saya alami, saya rasakan maupun yang dialami oleh orang lain.

Di antara kalimat yang termasuk mengada-ada atau berlebihan adalah seperti ketika Burung Merpati berkata : "... kuangkat sebuah batu besar sebesar kapal perang, kemudian kuletakkan di depan pintu gua hantu, supaya sang Tikus tidak bisa keluar dan mati kelaparan ..." Setelah batu itu diletakkan di depan pintu gua hantu, Sang Tikus yang berada di dalamnya tertawa terbahak-bahak dan berkata : "Hahaha ... ! Aku kan, pakar bobol membobol pintu orang.."

Makna kalimat yang dianggap berlebihan dan mengada-ada sebagaimana tersebut, adalah : betapapun hebat dam kuatnya sistem keamanan baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat maupun negara, bila segerombolan pencuri beraksi, maka pada akhirnya akan kecolongan juga. Di samping itu, kata "Gua Hantu" pun mengandung makna tersendiri.

Demikian. Selamat membaca ....!

Aku adalah Burung Merpati,
terbang tinggi setiap hari.
Hutan rimba jurang yang terjal sering kali aku lewati,
demi menikmati indahnya pemandangan alam raya ini.

Jantung hati dan dagingku lezat sekali,
bagi orang-orang yang menyukai.
Sangat berguna bagi kesehatan jasmani,
karena dagingku mengandung banyak gizi.

Warna buluku indah sekali,
sedap dipandang mata dan menyenangkan hati,
bagi mereka yang memiliki jiwa seni.
Seni Lukis dan Seni Tari,
Seni Tulis dan Seni Beladiri.
Seni Pahat dan Seni Menjalin Hubungan Cinta Sejati.

Aku adalah burung Merpati alias Burung Dara. Namaku Tawa. Nama isteriku Tiwi. Kedua orang tuaku bernama Tawa Tiwi. Aku tidak punya mertua, sehingga tidak punya nama. Sedangkan nama anakku Tawa. Bukan Tawa Tiwi. Karena anak perempuanku yang bernama Tiwi telah meninggal dunia pada saat ia masih bayi akibat masuk angin. Mbah dukun bilang angin duduk.

Maklum, rumahku sangat kecil. Kecil sekali. Tanpa kamar tidur, tanpa dapur, dan tanpa kamar mandi. Apalagi tempat jemur, maka dapat dipastikan tidak ada, sebab aku tidak pernah punya fulus sehingga tidak pernah beli baju, sarung maupun lainnya. Rumahku terletak di atas atap rumah milik sahabatku, yang biasa dipanggil Om Syekh. Om Syekh itu termasuk sahabat karib Ki Bandos. Dinding rumahku terbuat dari papan bekas, yang ditambal dengan kardus bekas pula. Sedangkan atap rumahku terbuat dari seng bekas yang sudah bolong-bolong, sehingga jika musim hujan datang, rumahku seringkali kebanjian, seperti banjir bandang.

Kebetulan, pada hari kelahiran anakku itu sedang turun hujan lebat. Membuat badanku terasa kedinginan. Guntur dan kilat bersahut-sahutan, datang dan pergi silih berganti, yang membuat diriku ketakutan, yaitu takut mati. Disertai dengan angin kencang, yang besarnya seperti angin ribut, bahkan seperti angin puting beliung. Pada saat itu, lantai rumahku penuh dengan air setinggi lutut kakiku, tempat tidur anak dan isteriku terendam air, sehingga anakku yang baru berumur satu hari itu basah kuyup, kedinginan dan masuk angin, yang akhirnya meninggal dunia pada malam jumat kliwon.

Sebagai Sang Ayah, aku sudah berusaha untuk menolong dan menyelamatkan jiwa anakku supaya tetap hidup, tumbuh dan berkembang hingga dewasa, berpacaran dan bermain cinta seperti diriku ketika aku masih muda. Oh sungguh ..., alangkah bahagianya hatiku, jika anak-anakku kelak menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihah, berbakti kepada kedua orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Kebahagiaanku juga pasti akan bertambah, bila anak-anakku bisa keliling dunia, menikmati panorama alam semesta. Oleh karena itu, aku berusaha sesuai kemampuanku untuk mengobati anakku yang sedang sakit masuk angin itu dengan memberikan obat tradisional yang aku buat sendiri, yaitu bawang putih dan bawang merah digerus pakai erus sampai halus, dicampur dengan minyak kayu putih. Lalu dioles-oleskan pada kedua telapak kakinya supaya badannya hangat dan angin duduknya segera kabur. Bahkan, seorang dokter pun sudah aku hubungi, kupanggil lewat pesawat telepon rumah milik sahabatku. Akan tetapi, karena memang pada malam itu turun hujan belum juga reda, sementara rumah pak dokter juga sangat jauh, sedangkan di jalan raya banyak sekali pohon yang tumbang akibat terjangan angin kencang, maka pak dokter pun terlambat datang, sehingga nyawa anakku tak tertolong. Ia menghembuskan nafas terakhirnya satu menit sebelum pak dokter tiba di rumahku, yaitu sekitar pukul 12 malam.

Atas kematian anak perempuanku itu, hatiku susah resah dan gelisah, serta menanggung berbagai macam penderitaan yang tiada tara, bahkan aku ingin sekali menangis dan menjerit-jerit sesuka hati. Demikian pulu isteriku, Tiwi, yang sangat kucintai dan kusayangi. Dia selalu menangis dan menangis, serta mengiba-iba kepada-Nya supaya anaknya yang sudah tidak bernyawa itu dihidupkan-Nya kembali. Terlihat pula olehku, wajahnya pucat pasi, dan badannya pun lemah sekali, karena baru saja melahirkan, di mana pengalaman ini merupakan pengalaman yang pertama bagi dirinya semenjak dia menikah dengan diriku beberapa puluh tahun yang lalu. Sementara itu, anak lelaki-ku yang bernama Tawa, juga ikut bersedih dan menangis tersedu-sedu, bahkan tampak pada wajahnya kesedihan yang sangat mendalam, sehingga membuat hatiku semakin pilu dalam kesedihan. Dan terutama sekali, ketika ia mengucapkan sebuah perkataan yang belum pernah kuucapkan sepanjang umur hidupku. Dengan penuh kasih sayang dan kesungguhan hati, dia mengusap-ngusap wajah kekasihnya yang terbaring kaku di atas amben yang sangat sederhana tapi bersahaja itu, dan berkata : "Wahai kekasihku ..., kau tinggalkan diriku seorang diri ..., kau pergi sebelum diriku membahagiakan dirimu ..., maafkanlah ... diriku ... ya .. sayang..?"

Kesedihanku semakin menjadi-jadi ketika jasad anak-ku yang belum sempat ku-kuburkan itu dicuri oleh Sang Tikus berbadan kurus, menjelang tabuh beduk subuh. Melihat kejadian ini, isteriku menangis dan menjerit-jerit sambil memanggil-manggil diriku yang sedang membersihkan lumpur lapindo di belakang rumahku. Dengan sisa-sisa suaranya yang hampir kekeringan karena semalaman menangis terus-terusan, dia bekata : "Mas Tawa ..., mas Tawa ..., anakku ..., anakku, Tiwi ..., dicuri Sang Tikus ...!" "Ya ampun ...", kataku, sambil berlari-lari mencari dan mengajar Sang Tikus yang sedang lari terbirit-birit menuju dan masuk ke sebuah lubang paralon yang terletak di kolong jembatan kereta api kali mandraguna.
(Bersambung)

Tidak ada komentar: