Rabu, 10 Juni 2009

Dokter THT (1)

Salah satu nikmat Allah swt. yang wajib kita syukuri adalah telinga, dalam bahasa jawa disebut kuping, kaku tur jerpiping. Menurut ahli filsafat, telinga termasuk salah satu sumber atau alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui telinga, kita mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik, yang tidak bisa diserap oleh mata, yaitu suara. Telinga juga berfungsi untuk menghindari bahaya, misalnya dengan mendengar suara klakson mobil ketika mata, karena satu dan lain hal, tidak bisa melihatnya.
Menurut pendapat seorang dukun bayi, bahwa orang yang tidak bisa bicara, alias bisu, itu salah satu penyebabnya adalah karena telingannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga ketika seorang ibu mengajarinya mengucapkan kata-kata "bapak" misalnya, ia (sang anak) tidak bisa menirukan. Bila hal ini terjadi terus menerus, dalam arti sama sekali tidak bisa mendengar dan menirukan ucapan dan perkataan ibunya, maka dapat dipastikan anak tersebut akan menjadi orang yang bisu.
Dari pendapat ahli filsafat dan dukun bayi tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa telinga memiliki perananan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang apabila kita bahas tentu akan memenuhi banyak halaman. Namun, di sini saya tidak akan membicarakan masalah telinga lebih mendalam, melainkan hanya sekedar memberi pengantar berkenaan dengan kisah Ki Bandos yang putus cinta gara-gara telinga. Bahkan ia pun pernah ngerjain seorang dokter ketika ia memeriksakan telingannya di sebuah rumah sakit di kota Serang Banten. Oleh karenanya, kisah ini diberi judul "Dokter THT".
Untuk itu, mari kita simak dan kita dengarkan kisah selengkapnya yang akan disampaikan langsung oleh Ki Bandos, sebagai orang yang punya cerita dan merupakan pemeran utama di situs ini. Silakan Ki Bandos... !
O-oii ... ! Aku disuruh bercerita tentang pengalamanku yang pernah kualami pada beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 80-an, di mana pada saat itu aku masih duduk di bangku sekolah di sebuah SMP Negeri Serang Banten. Sebenarnya sih aku keberatan untuk menceritakan pengalamanku itu, tetapi oleh karena Om Syekh selalu membujukku supaya aku bersedia menceritakannya, ya apa boleh buat, yang penting kisah tentang pengalamanku ini bisa tampil di internet.
Menurut penilaian Om Syekh, bahwa aku ini (Ki Bandos) termasuk orang yang memiliki perjalanan hidup dan pengalaman yang unik dan lucu, di mana tingkah laku, sikap dan penampilanku kadang-kadang seperti orang pandai, alim, cerdik dan cerdas, tatapi kadang-kadang juga seperi orang bego, bodoh, dungu dan tolol. Om Syekh pernah berkata kepadaku: "Sebenarnya kamu itu termasuk orang yang pintar, cerdik dan cerdas, tetapi berlagak bego", anehnya, Om Syekh juga pernah bilang : "Kamu itu orang yang paling bego di dunia ini, tapi berlagak pintar". Mana yang benar yaa ... ???
Aah ...! Itu kan hanya sebuah penilaian. Silakan saja Om Syekh mau menilai apa tentang diriku, terserahlah, aku tak peduli. Sebab, yang namanya kepintaran itu bukan berasal dari pujian dan sanjungan seseorang, melainkan dari kenyataan yang ada pada diriku sendiri. Kalau memang dalam kenyataannya diriku termasuk orang yang pintar, maka pasti akan tetap pintar, meskipun seribu orang mengatakan dan menilai diriku bego, dungu, bodoh dan tolol. Begitu juga sebaliknya, walaupun berjuta-juta orang menyanjung-nyanjung diriku sebagai orang pintar misalnya, kalau kenyataannya bego, maka tetap saja aku akan menjadi orang bego, dungu, bodoh dan tolol. Abadan abidin. Iya kan?
Nah ...!, dari pada kita pusing-pusing mikirin omangan Om Syekh yang membingungkan itu, lebih baik kita bernostalgia aja yuk ... ! Mari ..., sambil ngalor ngidul kita berbicara soal cinta, putus cinta, manisnya cinta, pahitnya cinta, lika-liku bermain cinta, putus lagi, nyambung lagi, dan lain sebagainya. Siapa tahu di antara mantan-mantan kekasihku dulu, ada yang mau ng-klik dan membacanya, biar mereka yang merasa pernah berpacaran dengan aku, ketawa semua. Jadinya rame, kan? Hahahaha .... !!!
Oh iya, aku belum kenalan. Namaku Bandos. Om Syekh biasa memanggilku Ki Bandos. Nama ini bukan pemberian orangtuaku, melaikan pemberian dari pemilik dan pengelola situs ini. Ketika aku tanya arti "Bandos", dengan singkat Om Syekh menjawab: " Banyak Dosa". Pada mulanya aku tidak terima, tidak mau, karena aku menganggapnya sebagai penghinaan terhadap diriku, tetapi setelah mendapat penjelasan dari Om Syekh, akhirnya aku terima juga dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih dan tanpa imbalan, alias gratis. "Sebagai penghargaan", kata Om Syekh, "namamu akan kujadikan judul situs-ku". Waao ..., aku akan menjadi orang terkenal nih ...!!! Hehehehe .....
Okey, sekarang mari kita kembali ke judul cerita, yaitu "Dokter THT 1". Namun, sebelumnya terlebih dahulu aku ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca sekalian, bahwa yang sebenarnya kisah "dokter telinga" ini akan dipublikasikan pada episode yang kesekian kalinya, akan tetapi oleh pengelola situs diharuskan supaya ditayangkan pada episode pertama dengan tujuan untuk memberi pekerjaan rumah (PR) kepada segenap pembaca. Di mana Om Syekh telah menyediakan hadiah bagi pembaca setia yang mengirim jawaban pada episode yang ke 10 nanti. Barangsiapa dapat mengurutkan kisah dalam kisah Ki Bandos Nyantri, mereka akan mendapat hadiah PULSA sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) untuk 10 orang/permbaca yang tercepat mengirimkan jawaban. Tentu saja jawaban yang terpilih adalah jawaban yang tepat dan benar. Adapaun caranya cukup menyebutkan nomor urut yang sebenarnya dan judul ceritanya, misalnya : 1. ...., 2. ...., 3. ..... s/d 10. Dokter THT. Nomor urut dan judul kisah yang terakhir ini, merupakan bocoran dari aku, dan anggap saja sebagai bonus atau hadiah untuk pembaca sekalian. Dijamin pasti benar. deh ... !!! Okey? Semoga Anda termasuk orang yang beruntung. Dan untuk selanjutnya perkenankanlah aku akan bercerita tentang dokter THT.
Bicara masalah TELINGA, jadinya aku teringat pada mantan kekasihku tempo dulu, Yayah Holiyah namanya. Dia adalah seorang gadis cantik berasal dari Kota Serang. Anak pertama dari seorang saudagar ternama nan terkenal. Terkenal karena kejujuran dan kekayaannya. Jujur dalam berniaga, kaya akan harta benda. Terkenal pula akan ketakwaan dan ketaatannya dalam beragama. Bahkan kedermawanannya pun menjadi buah pembicaraan bagi setiap pedagang di seluruh kota, baik pedagang di kota Cilegon, kota Serang, kota Tangerang, maupun di kota-kota lainnya. Perinsip berniaga yang dijadikannya sebagai pedoman, adalah sebuah sabda baginda Nabi Muhammad saw., yaitu : "Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mudah dalam berjual-beli", sebuah pedoman yang patut kita tiru dan kita ikuti.
Sebagai anak pertama dari tiga orang bersaudara, Yayah Holiyah memiliki sifat dan budi pekerti yang sangat mulia, luhur akan akhlaknya, dan kepribadiannya pun luar biasa hebatnya. Lemah lembut dalam bertutur bahasa, menambah anggun dalam dia berbusana. Meskipun seragam sekolah yang dikenakan segenap siswa-siswi bercorak dan warnanya sama, tetapi bagi Yayah Holiyah memiliki nilai jauh berbeda dari yang lainnya. Apalagi bila kita perhatikan cara dia berjalan. Wao... sungguh tidak ada duanya. Tatapan matanya tidak pernah plarak-plirik seperti kebanyakan gadis-gadis atau wanita-wanita lainnya. Uraian rambut panjang ikal berwarna hitam kelam, menambah ayu akan raut wajahnya yang keibuan. Kedua belah bibirnya merah alami, laksana buah delima. Bila kuperhatikan bulu alis dan kerlingan bola matanya, waah ..., sulit sekali aku menggambarkannya. Dia betul-betul gadis manis, cantik nan sempurna.
Sungguh bahagia hatiku mempunyai seorang kekasih yang cantiknya bagaikan bidadari. Nasehat-nasehatnya senantiasa menyejukkan hati, laksana embun di pagi hari. Ketulusan dalam setiap kali menyampaikan nasehatnya kepadaku, membuat hatiku luluh dan tak bosan-bosan untuk selalu mendengarkannya. Dengan nada manis yang memikat hati, dia berkata kepadaku: "Hidup di Pesantren tidak seperti hidup di rumah sendiri. Di rumah sendiri mungkin segala kebutuhan selalu ada dan tersedia, tetapi di Pesantren belum tentu. Oleh karena itu, AA harus pandai-pandai mengatur dan menghemat keuangan. Jangan sampai kekurangan apalagi kehabisan".
Itulah di antara nasehat yang pernah kudengar dari seorang kekasih pujaan dan tambatan hati. Sebuah nasehat yang patut kuresapi dan kutanamkan di lubuk hati. Sebagai bekal bagi diriku selama aku menjadi santri. Dalam usianya yang masih muda belia, dia senantiasa mengucapkan kata-kata yang bermakna, yang mampu membesarkan jiwa, sehingga aku merasa bahwa hidup ini semakin indah dan lebih berguna.
Bukan hanya nasehat yang dia berikan kepadaku, tetapi banyak juga yang lainnya yang tak perlu kusebutkan satu persatu. Selama aku bermain cinta dengannya, hampir setiap hari aku minum dan makan jajan selalu berdua. Sebagai lelaki, sebenarnya aku merasa sangat malu. Akan tetapi dia sendiri berulangkali meyakinkan pada diriku, bahwa orang tuanya sengaja menambah uang jajannya agar dia bisa makan dan minum bersamaku. Ketika aku tanya sikap kedua orang tuanya terhadap diriku, dia menjawab: "Orang tuaku sangat memahami kehidupan seorang santri, karena beliau juga termasuk alumni sebuah Pondok Pesantren. Mengenai diri AA, aku sudah menceritakan apa adanya, dan orang tuaku merasa senang dan bahagia mendengarnya. Sejak saat itulah, orang tuaku berjanji akan menambah uang jajan padaku dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Jadi, uang jajan yang diberikan oleh orang tuaku itu, adalah untuk kita berdua".
Sungguh mati, jantungku berdebar-debar ketika mendengar jawaban sang kekasih yang sedemikian rupa itu. Lebih-lebih pada saat dia mengucapkan kata-kata, "... untuk kita berdua", masya Allah, sepertinya aku hidup di alam mimpi, dan jiwaku melayang-layang seakan-akan hidup di alam syurga. Andai saja bukan karena kenyataan yang tak terbantahkan, pastilah aku tidak akan percaya pada ucapannya, bahkan sangat mungkin akan kuanggap sebagai bualan belaka. Namun, sebagaimana telah kuceritakan di atas, bahwa dia adalah seorang gadis ayu yang dianugerahi budi pekerti yang mulia dan berakhlaqul karimah. Kejujuran dalam bertutur kata senantiasa menghiasai kepribadiannya. Jiwa keikhlasan dan ketulusannya, adalah laksana sekuntum bunga yang selalu menyelimuti kelembutan hatinya. Dia sangat mencintai diriku, dan aku pun sangat mencintai dirinya. Kami berdua saling mencintai dan saling menyayangi.
Kini aku yakin, bahwa diriku tidak sedang dalam mimpi, melainkan sedang duduk bersanding dan bersenda gurau bersama sang buah hati di alam nyata, di bawah naungan sebatang pohon bunga tanjung yang rindang di pinggir lapangan olahraga, milik pemerintah daerah tingkat dua. Hanya saja pikiranku menjadi bingung. Bingung dalam mencari kalimat yang patut kuucapkan untuk membalas kebaikan kedua orang tuanya. Perkataan apakah gerangan yang pantas kusampaikan kepadanya? Ooh ..., aku tidak tahu. Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali, karena hatiku terpaku mendengar untaian kata sang kekasihku tadi. Akan tetapi, tanpa sengaja aku berkata kepadanya : "Sejak kapan kau jatuh cinta pada diriku?"
"Astaghfirullaah ...", demikian hatiku ber-istighfar, sebagai tanda penyesalan atas ucapanku itu. Sungguh, aku telah mengeluarkan perkataaan yang membuat diriku malu sendiri, karena perkataan yang semacam itu hanya patut diucapkan oleh mereka yang tidak tahu diri. Aku menyesal karena telah menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kutanyakan. Dan aku pun menyadari bahwa pertanyaanku itu tidak pantas ditujukan kepada dirinya, karena dia adalah seorang gadis terhormat dan berderajat, berasal dari keluarga yang terhormat dan berderajat pula. Bila dibandingkan dengan diriku, sungguh jauh berbeda, bagaikan langit dengan bumi. Dia berasal dari keluarga berada yang kaya raya, sementara aku berasal dari keluarga miskin nan papa. Dia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah kota, sedangkan aku dilahirkan di pinggiran desa. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, dan karena memang sudah terlanjur, maka bagaimana pun juga aku harus berusaha untuk tetap menyembunyikan dan menutupi penyesalanku itu, agar tidak mengganggu suasana hangatnya berduaan di sore hari itu.
Dengan raut wajahnya yang berseri-seri, disertai senyum simpul yang terbit dari kedua belah bibirnya yang manis, jawabannya singkat tapi jelas, ditambah dengan suara manjanya yang khas, sambil menggenggam jari-jemari tanganku erat-erat, dia berkata : "Ketika AA menyanyikan lagu Gugur Bunga".
"Aduhaiii ....", demikianlah hatiku berseru. Berseru karena terharu. Terharu karena mendengar ungkapan kata yang penuh kemanja-manjaan, yang dapat menggetarkan kalbu. Di samping itu, diriku pun termangu-mangu, karena aku merasa bahwa, selama aku belajar di sekolah itu tidak pernah menyanyikan lagu Gugur Bunga. Namun, setelah aku ingat-ingat kembali ternyata benar juga, bahwa aku pernah menyanyikannya seorang diri di atas panggung yang megah, sekitar dua tahun yang lalu, yaitu pada sebuah acara perkenalan siswa siswi baru, kelas satu, yang diselenggarakan setiap awal tahun ajaran baru. Pada saat itulah kunyanyikan lagu itu, dengan suaraku yang merdu, sebagai wakil dari kelas satu, yang kupersembahkan untuk bapak dan ibu guru serta kakak-kakak kelasku.
Aku sama sekali tidak pernah mengira, apalagi bercita-cita, bila kesahduan dan kemerduan suaraku dalam bernyanyi, akan membekas dan dapat memikat hati seorang gadis yang cantik jelita. Aku pun tak pernah bermimpi, bila saat ini si dia dengan setia duduk bersimpuh di sampingku, bersenda gurau sambil menikmati indahnya panorama alam di sekelilingku. "Wahai ... Yayah Holiyah kekasihku ..., janganlah kau tinggalkan diriku seorang diri ...", itulah suara hatiku, yang selalu bersenandung sepanjang waktu.
Demikianlah kisah cinta ini ..., cinta suci dan menawan hati ..., yang pernah kualami. Hari demi hari kulalui dengan penuh kemesraan dalam bercinta..., minggu demi minggu kujalani dengan penuh kehangatan dalam bercanda ..., bulan demi bulan kulewati dengan penuh kebahagiaan dalam jalinan asmara ..., bersama sang kekasih yang tercinta ..., si gadis manis dambaan hati ..., Yayah Holiyah sang bidadari..., yang tak mungkin dapat terganti.
Namun, kemesraan ..., dan kehangatan ..., serta kebahagiaan ..., yang pernah kualami dan kurasakan selama enam bulan itu, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sangat menyesakkan dada, seakan-akan diriku tak berguna dan tak berharga, karena orang yang selama ini aku sayangi dan aku cintai, bahkan selalu aku sanjung-sanjung sepanjang hari dan malam itu, dengan tanpa kuduga mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan jiwa, dan membuat hatiku merana dalam kegalauan cinta.
Seandainya aku tahu, bahwa seorang gadis yang memanggil-manggil di seberang jalan itu adalah si dia, dan jika aku mengerti bahwasanya yang dimaksud orang yang dipanggil itu adalah diriku, maka pastilah akan kusambut dengan segera ..., tanpa kutunda ..., kudekati ..., lalu kupeluk dan kucium pipinya yang berlesung pipit itu dengan penuh mesra, sebagai tanda kasih sayang yang tak terhingga dari aku. Dengan demikian dapatlah dipastikan pula, bahwa dia tidak akan melontarkan perkataan yang menyebabkan retaknya jalinan cinta.
Dan seandainya pula, dia panggil diriku dengan menyebut nama, atau dengan memanggil namaku, Bandos ...., Bandos ...., misalnya, maka dapatlah kiranya dipastikan bahwa aku akan segera memenuhinya ..., kuhampiri dirinya ..., lalu kupegang erat-erat tangannya yang halus mulus sehalus sutra itu, kemudian kubawa pergi, sambil bergandengan tangan, berjalan-jalan mengelilingi arena upacara peringatan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di kota Cilegon, yang telah lalu. Dengan demikian, dapatlah kiranya dipastikan bahwa dia tidak akan mengucapkan kata-kata yang mengakibatkan terputusnya jalinan asmara.
Namun, di sini bukanlah tempatnya dan bukan pula waktunya untuk berandai-andai, karena semuanya sudah terjadi. Biarlah lidah mengatakan "tak perlu disesali", meskipun hati berkata "oh ..., sungguh berat sekali". Kiranya cukuplah sampai di sini, semoga dapat berjumpa lagi di lain kali. Untuk selanjutnya waktu dan tempat kuserahkan kembali, kepada Om Syekh pengelola situs ini. Tafaddlol yaa Om Syekh ....!
Saya sampaikan terimakasih kepada Ki Bandos yang telah menceritakan sebagaian kecil dari pengalamannya. Menurut pendapat seorang pengembara, bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik bagi kita, dengan kata lain, guru yang paling baik adalah pengalaman. Sehingga, orang arif dan bijak berkata bahwa, "Barangsiapa sedikit pengalamannya, maka sedikit pula kebaikannya. Dan barangsiapa banyak pengalamannya, maka banyak pula kebaikannya." Dalam pengertian bilamana mau mengambil pelajaran dari pengalamannya itu.
(Bersambung : Dokter Telinga 2)

Tidak ada komentar: