Minggu, 28 Juni 2009

SMS Dari Sahabatku

Beberapa hari yang lalu saya menerima SMS dari sahabatku di Kebumen Jawa Tengah, ia menanyakan apa mungkin di balik sebuah kisah atau cerita itu ada maknanya seperti yang pernah dipublikasikan di situs ini. Maka pada kesempatan ini, saya menganggap perlu untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari karangan cerita tersebut, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang akan menyusul di kemudian hari. Dan di sini saya akan memberikan sebuah contoh kisah (narasi) yang mengandung makna dan ajaran, yang sangat bermanfaat dan berguna bagi kita. Di antaranya adalah seperti di bawah ini yang merupakan ringkasan narasi Ibnu Sina yang bersumber dari buku Pengantar Epistimologi Islam, hasil karya Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, sebagai berikut :
"Pada suatu hari yang cerah, sekawanan burung dari langit mendarat di permukaan bumi. Tanpa disadari oleh burung-burung tersebut, seorang pemburu telah memasang perangkap. Tak urung satu dari burung-burung itu pun tertangkap dan dibawa pulang sang pemburu.
Sesampainya di rumah, burung itu pun dimasukkan ke dalam sangkar dan kakinya pun di rantai. Ia memang dirawat dengan baik, dimandikan dan diberi makan secukupnya. Keadaan seperti itu berlangsung selama bertahun-tahun sehingga lama kelamaan burung itu pun menjadi terbiasa dengan keadaan dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Lamanya waktu yang ia lalui meenyebabkan ingatan burung tersebut tehadap asal-usulnya semakin hari semakin memudar, dan bahkan akhirnya hilang sama sekali. Kini, burung itu merasa yakin bahwa sangkar tempat tinggalnya ini, itulah satu-satunya dunia yang ia miliki. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ada dunia lain yang nonfisik, apalagi yang lebih indah daripada dunia sangkarnya itu, satu-satunya dunia yang kini ia kenal.
Namun, pada suatu hari, ia mendengar sayup-sayup dari kejauhan sebuah nyanyian dari sekawanan burung yang terbang bebas di angkasa. Yang aneh adalah mengapa nyanyian itu terasa begitu akrab di hatinya, seakan-akan ia pernah mendengarnya sebelum itu. Semakin jelas suara nyanyian itu, semakin bahwa ia pernah mendengarnya. Bahkan bukan itu saja, ia malah bisa menyanyikannya.
Tentunya ini merupakan fakta yang sulit ia pahami pada saat itu. Karena kebingungannya itu , ketika burung-burung itu semakin dekat dan berada jarak panggil, dipanggilnya sekeras-kerasnya kawanan burung tersebut. Hanya dengan cara itu ia berharap bisa menanyakan prihal dirinya yang sedang mengalami kebingungan seperti itu. Teriakannya itu ternyata terdengar oleh burung yang terbang terendah. Ia pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada ketua rombongannya. Lalu mereka pun turun secara bergerombol, untuk menemui rekannya yang malang, terkurung dan terantai di dalam sangkar.
Setelah mereka berhadap-hadapan, percakapan pun dimulai. Si burung dalam sangkar menanyakan siapakah mereka itu sebenarnya dan ada apa dengan nyanyiannya itu sehingga ia merasa begitu akrab dengannya. Setelah mendengar jawaban dan penjelasan dari mereka, ia pun menjadi sadar bahwa ia tidak berasal dari sangkar itu, seperti yang ia duga, tetapi bearasal dari langit yang jauh, yang lebih indah dan lebih megah. Setelah mengetahui perihal asal-usulnya, sang burung itu pun meminta dengan sangat, bahkan mendesak kawanan burung itu untuk mengeluarkannya dari sangkar itu. Ya, sangkar yang selama ini ia pikir sebagai satu-satunya dunia yang ada. Lalu dengan segala daya dan upaya, akhirnya kawanan burung itu pun berhasil mengeluarkannya dari sangkar dan membawanya terbang bersama mereka.. Ia pun kemudian hampir tidak bisa dibedakan dari mereka kecuali bahwa di kakinya masih tertinggal rantai yang telah terputus, tetapi tidak bisa dilepaskan sama sekali. Dan dengan rantai yang terputus itu, ia pun terbang ke langit, menuju tempat asalnya yang sejati.
Setelah terbang sekian lama, akhirnya kawanan burung itu tiba di puncak gunung tertinggi di dunia fisik ini, yang ia kira sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Namun, ternyata tidak, karena dari puncak atas gunung itulah justru terlihat delapan puncak gunung kosmik lainnya, yang satu persatu harus diarungi hingga mencapai puncak gunung yang tertinggi tadi. Akhirnya, kawanan burung itu pun harus pergi dan terbang ke puncak yang kedua, tak terkecuali burung berantai itu. Begitu sampai di puncak gunung kosmik yang pertama, burung kita langsung jatuh cinta karena ternyata ia jauh lebih indah dan serasi dibanding dengan sangkar (alam dunia) yang ia kenal selama ini.
Demikianlah seterusnya, puncak demi puncak, pesona demi pesona yang semakin meluluhkan rasa harus dilalui dan ditinggalkan demi bertemu dengan Raja Burung yang bertengger di puncak gunung kosmik yang tertinggi. Kemudian, diceritakan bahwa ketika berjumpa dan berhadap-hadapan dengan sang Raja tersebut, tiba-tiba burung itu sadar betapa keindahan-keindahan yang telah ia lihat dan alami dalam perjalanannya itu tidak berarti apa-apa dibanding dengan keindahan dan kemegahan yang ia saksikan sendiri dari sang Raja". (Pengantar Epitemologi Islam, hal. 95-97)
Itulah, narasi Ibnu Sina yang diringkas oleh Dr. R. Mulyadhi Kartanegara di dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, bab 10, tentang Pengembaraan Transkosmik . Maksud saya mengetengahkan narasi tersebut, bukanlah untuk menyamakan karangan saya dengan karangan Ibnu Sina, oh sungguh bukan, melainkan hanya sebagai contoh bahwa, suatu ajaran dapat disampaikan lewat cerita, kisah, narasi, dan lain sebagainya. Bila kita cermati dengan baik, narasi tersebut banyak memberi pelajaran tentang ajaran-ajaran para filosof Muslim, terutama yang berkaitan dengan kosmologi atau kedudukan manusia di dalam kosmos.
Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, bahwa narasi Ibnu Sina ini mengandung ajaran sebagai berikut. Pertama, burung biasanya dipakai simbul bagi jiwa manusia sehingga burung yang terikat dalam sangkar menggambarkan keadaan jiwa manusia yang terbelenggu dalam sangkar dunia fisik. Dengan demikian, jelas bahwa menurut Ibnu Sina, manusia bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual. ... Kedua, pandangan bahwa bumi (dunia fisik) ini adalah satu-satunya dunia yang ada merupakan pandangan yang keliru, sebagaimana kelirunya burung yang beranggapan bahwa sangkar adalah satu-satunya tempat tinggalnya. Kenyataan bahwa burung itu merasa akrab dengan nyanyian surga dari kawanan burung yang terbang di atasnya, menjadi bukti bahwa manusia mempunyai tempat tinggal lain yang lebih sejati, tidak hanya tempat tinggal duniawinya. ... Ketiga, bahwa burung bisa terbang sekalipun masih terikat rantai yang putus menunjukkan keyakinan Ibnu Sina, sang pengarang naratif, bahwa selagi manusia masih hidup dimungkinkan adanya pengembaraan transkosmik, sekalipun mungkin tidak seleluasa kalau kakinya tidak terikat rantai fisik lagi. Keempat, kenyataan bahwa burung itu harus terbang ke langit, menunjukkan metapa dunia ini bukan asal ataupun tempat kembali manusia yang sejati. yaitu Sang Raja atau Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai 'Yang Awal dan Yang Akhir'. Kelima, bahwa burung itu dan kawan-kawannya harus melintasi delapan gunung metakosmik yang mengantarai dirinya dan Sang Raja, menunjukkan bahwa alam dunia ini hanyalah salah satu dari sekian banyak alam lain yang tersusun secara hierarkis, dengan Tuhan berada di puncaknya, dan alam fisik di dasarnya. Bahwa alam fisik ini ada di dasar menunjukkan bahwa dunia-dunia di atas sana jauh lebih indah dan riil dibanding dengan dunia fisik ini, sekalipun mereka bersifat nonfisik. Dengan demikian, jelas posisi alam dunia ini berada dalam keseluruhan struktur kosmik. Terakhir, atau keenam, bahwa di puncak hierarki dunia metakosmik ini, bertengger Sang Raja yang mahacantik, pesona dari segala pesona, ke arah mana segala apa yang ada di dunia fisik dan kosmik, dengan kata lain, di bumi dan di langit tertarik. Dialah buah kerinduan segala jiwa, tempat berlabuh segala hati yang merindu". (Pengantar Epistemologi Islam, hal. 97-98)
Bermula dari pemahaman inilah, saya mencoba untuk membuat suatu tulisan di mana di satu sisi dapat memberikan hiburan bagi pembaca, sedangkan di sisi lain saya juga bermaksud menyampaikan ajaran-ajaran yang menurut saya perlu diketahui oleh setiap orang. Pada profil Ki Bandos misalnya, saya tulis bahwa Ki Bandos adalah sosok seorang pemuda yang memiliki sifat dan sikap simpatik terhadap setiap gadis atau wanita. Kalimat ini saya buat untuk menggambarkan tentang pri kehidupan manusia. Pemuda, adalah sebagai gambaran tentang hawa nafsu manusia, sedangkan seorang gadis atau wanita sebagai gambaran tentang keindahan dan kesenangan dunia. Kemudian, ia tidak pernah membeda-bedakan, dan tidak merendahkan apalagi menghina, sehingga banyak sekali gadis atau wanita yang merasa senang berteman dengannya. Kalimat ini saya susun, untuk menggambarkan tentang keserakahan manusia. Orang yang serakah tidak pernah membeda-bedakan, atau merendahkan apalagi menghina keindahan dunia.
(Bersambung)

Tidak ada komentar: