Minggu, 28 Juni 2009

SMS Dari Sahabatku

Beberapa hari yang lalu saya menerima SMS dari sahabatku di Kebumen Jawa Tengah, ia menanyakan apa mungkin di balik sebuah kisah atau cerita itu ada maknanya seperti yang pernah dipublikasikan di situs ini. Maka pada kesempatan ini, saya menganggap perlu untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari karangan cerita tersebut, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang akan menyusul di kemudian hari. Dan di sini saya akan memberikan sebuah contoh kisah (narasi) yang mengandung makna dan ajaran, yang sangat bermanfaat dan berguna bagi kita. Di antaranya adalah seperti di bawah ini yang merupakan ringkasan narasi Ibnu Sina yang bersumber dari buku Pengantar Epistimologi Islam, hasil karya Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, sebagai berikut :
"Pada suatu hari yang cerah, sekawanan burung dari langit mendarat di permukaan bumi. Tanpa disadari oleh burung-burung tersebut, seorang pemburu telah memasang perangkap. Tak urung satu dari burung-burung itu pun tertangkap dan dibawa pulang sang pemburu.
Sesampainya di rumah, burung itu pun dimasukkan ke dalam sangkar dan kakinya pun di rantai. Ia memang dirawat dengan baik, dimandikan dan diberi makan secukupnya. Keadaan seperti itu berlangsung selama bertahun-tahun sehingga lama kelamaan burung itu pun menjadi terbiasa dengan keadaan dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Lamanya waktu yang ia lalui meenyebabkan ingatan burung tersebut tehadap asal-usulnya semakin hari semakin memudar, dan bahkan akhirnya hilang sama sekali. Kini, burung itu merasa yakin bahwa sangkar tempat tinggalnya ini, itulah satu-satunya dunia yang ia miliki. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ada dunia lain yang nonfisik, apalagi yang lebih indah daripada dunia sangkarnya itu, satu-satunya dunia yang kini ia kenal.
Namun, pada suatu hari, ia mendengar sayup-sayup dari kejauhan sebuah nyanyian dari sekawanan burung yang terbang bebas di angkasa. Yang aneh adalah mengapa nyanyian itu terasa begitu akrab di hatinya, seakan-akan ia pernah mendengarnya sebelum itu. Semakin jelas suara nyanyian itu, semakin bahwa ia pernah mendengarnya. Bahkan bukan itu saja, ia malah bisa menyanyikannya.
Tentunya ini merupakan fakta yang sulit ia pahami pada saat itu. Karena kebingungannya itu , ketika burung-burung itu semakin dekat dan berada jarak panggil, dipanggilnya sekeras-kerasnya kawanan burung tersebut. Hanya dengan cara itu ia berharap bisa menanyakan prihal dirinya yang sedang mengalami kebingungan seperti itu. Teriakannya itu ternyata terdengar oleh burung yang terbang terendah. Ia pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada ketua rombongannya. Lalu mereka pun turun secara bergerombol, untuk menemui rekannya yang malang, terkurung dan terantai di dalam sangkar.
Setelah mereka berhadap-hadapan, percakapan pun dimulai. Si burung dalam sangkar menanyakan siapakah mereka itu sebenarnya dan ada apa dengan nyanyiannya itu sehingga ia merasa begitu akrab dengannya. Setelah mendengar jawaban dan penjelasan dari mereka, ia pun menjadi sadar bahwa ia tidak berasal dari sangkar itu, seperti yang ia duga, tetapi bearasal dari langit yang jauh, yang lebih indah dan lebih megah. Setelah mengetahui perihal asal-usulnya, sang burung itu pun meminta dengan sangat, bahkan mendesak kawanan burung itu untuk mengeluarkannya dari sangkar itu. Ya, sangkar yang selama ini ia pikir sebagai satu-satunya dunia yang ada. Lalu dengan segala daya dan upaya, akhirnya kawanan burung itu pun berhasil mengeluarkannya dari sangkar dan membawanya terbang bersama mereka.. Ia pun kemudian hampir tidak bisa dibedakan dari mereka kecuali bahwa di kakinya masih tertinggal rantai yang telah terputus, tetapi tidak bisa dilepaskan sama sekali. Dan dengan rantai yang terputus itu, ia pun terbang ke langit, menuju tempat asalnya yang sejati.
Setelah terbang sekian lama, akhirnya kawanan burung itu tiba di puncak gunung tertinggi di dunia fisik ini, yang ia kira sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Namun, ternyata tidak, karena dari puncak atas gunung itulah justru terlihat delapan puncak gunung kosmik lainnya, yang satu persatu harus diarungi hingga mencapai puncak gunung yang tertinggi tadi. Akhirnya, kawanan burung itu pun harus pergi dan terbang ke puncak yang kedua, tak terkecuali burung berantai itu. Begitu sampai di puncak gunung kosmik yang pertama, burung kita langsung jatuh cinta karena ternyata ia jauh lebih indah dan serasi dibanding dengan sangkar (alam dunia) yang ia kenal selama ini.
Demikianlah seterusnya, puncak demi puncak, pesona demi pesona yang semakin meluluhkan rasa harus dilalui dan ditinggalkan demi bertemu dengan Raja Burung yang bertengger di puncak gunung kosmik yang tertinggi. Kemudian, diceritakan bahwa ketika berjumpa dan berhadap-hadapan dengan sang Raja tersebut, tiba-tiba burung itu sadar betapa keindahan-keindahan yang telah ia lihat dan alami dalam perjalanannya itu tidak berarti apa-apa dibanding dengan keindahan dan kemegahan yang ia saksikan sendiri dari sang Raja". (Pengantar Epitemologi Islam, hal. 95-97)
Itulah, narasi Ibnu Sina yang diringkas oleh Dr. R. Mulyadhi Kartanegara di dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, bab 10, tentang Pengembaraan Transkosmik . Maksud saya mengetengahkan narasi tersebut, bukanlah untuk menyamakan karangan saya dengan karangan Ibnu Sina, oh sungguh bukan, melainkan hanya sebagai contoh bahwa, suatu ajaran dapat disampaikan lewat cerita, kisah, narasi, dan lain sebagainya. Bila kita cermati dengan baik, narasi tersebut banyak memberi pelajaran tentang ajaran-ajaran para filosof Muslim, terutama yang berkaitan dengan kosmologi atau kedudukan manusia di dalam kosmos.
Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, bahwa narasi Ibnu Sina ini mengandung ajaran sebagai berikut. Pertama, burung biasanya dipakai simbul bagi jiwa manusia sehingga burung yang terikat dalam sangkar menggambarkan keadaan jiwa manusia yang terbelenggu dalam sangkar dunia fisik. Dengan demikian, jelas bahwa menurut Ibnu Sina, manusia bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual. ... Kedua, pandangan bahwa bumi (dunia fisik) ini adalah satu-satunya dunia yang ada merupakan pandangan yang keliru, sebagaimana kelirunya burung yang beranggapan bahwa sangkar adalah satu-satunya tempat tinggalnya. Kenyataan bahwa burung itu merasa akrab dengan nyanyian surga dari kawanan burung yang terbang di atasnya, menjadi bukti bahwa manusia mempunyai tempat tinggal lain yang lebih sejati, tidak hanya tempat tinggal duniawinya. ... Ketiga, bahwa burung bisa terbang sekalipun masih terikat rantai yang putus menunjukkan keyakinan Ibnu Sina, sang pengarang naratif, bahwa selagi manusia masih hidup dimungkinkan adanya pengembaraan transkosmik, sekalipun mungkin tidak seleluasa kalau kakinya tidak terikat rantai fisik lagi. Keempat, kenyataan bahwa burung itu harus terbang ke langit, menunjukkan metapa dunia ini bukan asal ataupun tempat kembali manusia yang sejati. yaitu Sang Raja atau Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai 'Yang Awal dan Yang Akhir'. Kelima, bahwa burung itu dan kawan-kawannya harus melintasi delapan gunung metakosmik yang mengantarai dirinya dan Sang Raja, menunjukkan bahwa alam dunia ini hanyalah salah satu dari sekian banyak alam lain yang tersusun secara hierarkis, dengan Tuhan berada di puncaknya, dan alam fisik di dasarnya. Bahwa alam fisik ini ada di dasar menunjukkan bahwa dunia-dunia di atas sana jauh lebih indah dan riil dibanding dengan dunia fisik ini, sekalipun mereka bersifat nonfisik. Dengan demikian, jelas posisi alam dunia ini berada dalam keseluruhan struktur kosmik. Terakhir, atau keenam, bahwa di puncak hierarki dunia metakosmik ini, bertengger Sang Raja yang mahacantik, pesona dari segala pesona, ke arah mana segala apa yang ada di dunia fisik dan kosmik, dengan kata lain, di bumi dan di langit tertarik. Dialah buah kerinduan segala jiwa, tempat berlabuh segala hati yang merindu". (Pengantar Epistemologi Islam, hal. 97-98)
Bermula dari pemahaman inilah, saya mencoba untuk membuat suatu tulisan di mana di satu sisi dapat memberikan hiburan bagi pembaca, sedangkan di sisi lain saya juga bermaksud menyampaikan ajaran-ajaran yang menurut saya perlu diketahui oleh setiap orang. Pada profil Ki Bandos misalnya, saya tulis bahwa Ki Bandos adalah sosok seorang pemuda yang memiliki sifat dan sikap simpatik terhadap setiap gadis atau wanita. Kalimat ini saya buat untuk menggambarkan tentang pri kehidupan manusia. Pemuda, adalah sebagai gambaran tentang hawa nafsu manusia, sedangkan seorang gadis atau wanita sebagai gambaran tentang keindahan dan kesenangan dunia. Kemudian, ia tidak pernah membeda-bedakan, dan tidak merendahkan apalagi menghina, sehingga banyak sekali gadis atau wanita yang merasa senang berteman dengannya. Kalimat ini saya susun, untuk menggambarkan tentang keserakahan manusia. Orang yang serakah tidak pernah membeda-bedakan, atau merendahkan apalagi menghina keindahan dunia.
(Bersambung)

Minggu, 21 Juni 2009

Dokter THT (2)

Di antara ciptaan Allah Swt. yang paling jujur adalah hati. Dalam bahasa ilmiahnya disebut intuisi. Menurut aliran filsafat timur, intuisi atau hati termasuk salah satu sumber ilmu pengetahuan. Keistimewaan hati sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah bahwa ia mampu memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal. Memang, akal bisa menguasai seribu cabang ilmu, tetapi tentang dirinya sendiri, ia tidak tahu apa-apa. Akal sangat berguna sebagai sumber ilmu, tetapi hanya sebagai kecakapan intelektual atau kecerdasan intelgensi. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan hidup yang lebih dalam, yang menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya, akal tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran kita akan menjadi buntu dan lidah menjadi kelu. Dengan kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman-pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati atau intuisilah yang mampu melakukannya.
Akal dengan kebiasaannya meraung-raung (spatilize) apa pun yang menjadi objeknya. Ia (akal) cenderung memahami sesuatu secara general atau homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan sebuah "momen" atau "ruang" sebagaimana yang dialami secara langsung oleh seseorang. Bahwa setiap saat dari kehidupan kita itu unik, sulit dimengerti oleh akal karena bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu menit di mana pun juga. Tetapi bagi hati, tidaklah demikian, sebab satu jam bagi orang yang menunggu, itu tidak sama dengan satu jam bagi orang yang ditunggu. Sehingga, dalam kisah bercinta kita sering mendengar ungkapan bahwa orang yang sedang menanggung rindu itu merasakan, satu menit laksana satu jam, satu jam bagaikan satu hari, satu hari seperti satu minggu, satu minggu seakan-akan satu bulan, dan begitulah seterusnya.
Di sini saya sengaja berbicara masalah akal dan hati, karena berkaitan erat dengan kisah Ki Bandos Nyantri. Di mana pada episode yang lalu (Dokter THT 1), Ki Bandos telah menceritakan kepada kita bahwa, kebahagiaannya dalam menjalin asmara dengan Yayah Holiyah, berganti menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Bahkan katanya, menyesakkan dadanya. Nah, apakah Ki Bandos akan menggunakan akal dan hati nuraninya itu, demi untuk meraih kembali gadis pujaannya, ke pangkuannya? Atau mungkinkah dia akan mampir ke dukun santet atau dukun pelet, yang sekiranya dapat mengajarkan ilmu pengasihan kepadanya? Atau barangkali juga dia akan menggunakan ilmu rayuan gombalnya, supaya Yayah Holiyah tetap lengket, pada dirinya? Baiklah, sekarang kita dengarkan saja kisahnya berikut ini. Silakan Ki Bandos .... !
Okey Om Syekh ...!
Wah ... ternyata merayu pun ada ilmunya, ada teorinya, ada tatacaranya, ada rumusnya, yang disebut Ilmu Rayuan Gombal, sebagaimana yang dikatakan oleh Om Syekh tadi. Kalau begitu gurunya pun, juga pasti ada. Sebab, setiap cabang ilmu, itu pasti ada orang yang mengajarkannya, yang dinamakan Guru, atau Dosen, atau Kiyai, dan lain sebagainya. Sehingga kita sering mendengar istilah: Guru Matematika, Guru Bahasa Indonesia, Guru Bahasa Inggris, dan kemungkinan juga Guru IRG, yaitu Guru Ilmu Rayuan Gombal.
Kalau memang benar-benar ada, seorang guru yang mau mengajarkan ilmu rayuan gombal, malah kebetulan sekali. Aku pasti akan mendaftarkan diri untuk menjadi muridnya, supaya aku bisa merayu si dia, karena sampai saat ini aku masih kangen banget kepada gadis yang namanya Yayah Holiyah itu. Akan tetapi, karena tidak mungkin ada seorang guru pun yang mau mengajarkan ilmu rayuan gombal, maka tidak usah dicari, sebab sampai kapanpun tidak akan ketemu.
Sebenarnya, pada kali ini aku ingin menceritakan kelanjutan kisah cintaku dengan Yayah Holiyah, tetapi, karena dalam mukaddimah Om Syekh tadi ada kalimat yang menarik untuk dibicarakan, yaitu " ... kehidupan kita itu unik ...." , maka aku juga akan ikut-ikutan bicara. Aku punya pengalaman yang menarik, yang apabila aku uraikan pasti Om Syekh akan cemburu padaku. Ceritanya begini.
Kemarin lusa, Om Syekh berjanji akan memberi hadiah kepadaku, sebagai tanda terimakasih, karena kisah tentang diriku sebagaimana yang aku ceritakan pada opisode Dokter THT 1, sudah ada yang membuka dan kemungkinan juga sudah dibaca sejak awal sampai akhir. Di samping itu Om Syekh juga merasa gembira karena saudaranya yang berdomisili di Jakarta berkenan menjadi pembaca setia Kisah Ki Bandos Nyantri. Kalau Anda ingin tahu, silahkan lihat fotonya yang ada di sebelah kanan atas, yang sedang mejeng tuh ....!, dan jangan lupa di klik yaa ... , pasti dijamin seru deh ...!
Sebagai orang yang akan menerima hadiah, tentu saja hatiku merasa bangga dan gembira. Bangga, karena kerja kerasku tidak sia-sia. Gembira, karena aku akan menerima hadiah yang tak pernah kuduga. Dan aku pun dengan segera, merencanakan membeli barang-barang yang aku butuhkan. Beli ini dan itu. Beli sepeda baru yang termahal. Beli HP yang terkini biar aku bisa SMS-an sama Yayah Holiyah, dan lain sebagainya. Pokoknya barang-barang yang akan kubeli, aku catat semua, kutulis di atas kertas yang bagus dengan tulisan yang bagus pula. Sejak dari nama barang, type barang, sampai harganya pun semua aku catat dengan rapih, supaya nanti ketika aku di toko atau di pasar, tidak ada yang lupa.
Sambil menunggu datangnnya hadiah yang dijanjikan Om Syekh, aku pun pergi berjalan-jalan ke rumah teman, saudara, dan seluruh kenalanku, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan terhadap orang yang belum aku kenal pun, aku berpura-pura sudah kenal akrab, supaya aku bisa ngobrol dengan mereka dan menceritakan apa pun yang aku mau. Dengan penuh bangga aku berkata kepada mereka : "Di desa ini, tidak ada seorang pun yang punya HP paling bagus dan paling mahal, selain diriku". Dan mereka pun percaya terhadap ucapanku itu, karena aku tidak pernah berkata bohong pada mereka, kecuali sedikit ditambah sedikit dan ditambah sedikit lagi. Hehehe ....! Ketika temanku bertanya : "Mana HP mu?", lalu kujawab "Tunggu saja tanggal mainnya, yang jelas tidak lama lagi aku akan punya HP baru".
Demikianlah aku berkata kepada setiap orang yang kujumpai, di rumah maupun di jalan, dengan penuh keyakinan dan kebanggaan. Buku telepon pun sudah kusediakan, untuk mencatat semua nama-nama temanku, berikut nomor HP-nya masing-masing, supaya nanti kalau HP-nya sudah ada, aku dapat dengan segera memberitahukan kepada mereka.
Namun, betapa kecewanya hatiku, ketika aku tahu, bahwa hadiah yang akan diberikan oleh Om Syekh itu, bukanlah berupa uang dan bukan pula berupa barang, melainkan berupa sebuah huruf, hanya satu huruf, di mana satu huruf itu katanya akan ditambahkan pada namaku. Om Syekh berakata kepadaku: "Sebagai hadiah, namamu kutambah satu huruf ...". Dengan berat hati aku berkata. "Huruf apa?" , tanyaku sambil menahan emosi. Lalu Om Syekh menjawab : "Huruf 'a' ..." "Terus ...?", tanyaku lagi. "Mulai hari ini ... ", kata Om Syekh, "kamu bernama Bandosa ..."
Sambil menyembunyikan rasa kecewa yang sangat mendalam, aku pun bertanya kepada Om Syekh, tentang arti dan makna serta tujuan dari huruf yang akan ditambahkan pada namaku itu. Kataku : "Yaa Om Syekh, apa maksudmu ... merubah-merubah namaku ...dengan menanmabhkan huruf 'a' pada namaku?". Dengan santai Om Syekh menerangkan kepadaku. Lalu ia berkata : "Supaya kamu banyak manfaatnya sebagaimana bandosa. Sebab Bandosa itu artinya kapuraga. Sedangkan Kapuraga adalah nama sebuah tempat atau alat untuk membawa orang yang sudah tidak bernyawa, yaitu orang mati, alias mayyit ...".
"Yaa Allah ..., yaa Robbi .... yaa Kariim ...!", demikianlah hatiku berseru menyebut nama Tuhanku, Dzat Yang Maha Mengetahui segala seuatu. Yang Ilmu-Nya meliputi yang dhohir dan yang bathin. Aku tidak pernah mengira, bila hadiah yang akan diberikan Om Syekh itu, hanya berupa sebuah huruf, di mana huruf itu aku sendiri sudah punya, bahkan lebih banyak daripada apa yang akan diberikan oleh Om Syekh kepadaku.
Kejadian ini merupakan kejadian yang sangat mengecewakan dan memalukan bagi diriku, karena hadiah yang dijanjiikan Om Syekh tidak sesuai dengan harapanku, sehingga harapan-harapanku untuk membeli HP baru, tak mungkin terwujud sama sekali. Aku pun merasa malu kepada teman-temanku yang pernah aku beritahu beberapa waktu yang lalu. Lebih-lebih ketika teman-temanku itu menanyakan HP yang akan aku beli. Yang paling menyakitkan hatiku adalah penghinaan dan sindirian mereka terhadap diriku. Di antara mereka ada yang berkata : "Bandos, HP-mu bagus sekali ...", dan ada juga yang berkata : "Gak punya uang pinginnya beli HP yang bagus", dan semua perkataan dan ucapan yang tidak enak didengar dan menyakitkan hati. Kalau boleh piinjam istilah ....., pikiranku pusing seperti diaduk-aduk angin puting beliung.
Pada saat aku merenungkan nasib diriku, terbersit dalam pikiranku, akan kenangan indah yang pernah kualami, ketika aku pertama kali menjalin hubungan cinta dengan Yayah Holiyah.

(Bersambung)!

Rabu, 10 Juni 2009

Dokter THT (1)

Salah satu nikmat Allah swt. yang wajib kita syukuri adalah telinga, dalam bahasa jawa disebut kuping, kaku tur jerpiping. Menurut ahli filsafat, telinga termasuk salah satu sumber atau alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui telinga, kita mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik, yang tidak bisa diserap oleh mata, yaitu suara. Telinga juga berfungsi untuk menghindari bahaya, misalnya dengan mendengar suara klakson mobil ketika mata, karena satu dan lain hal, tidak bisa melihatnya.
Menurut pendapat seorang dukun bayi, bahwa orang yang tidak bisa bicara, alias bisu, itu salah satu penyebabnya adalah karena telingannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga ketika seorang ibu mengajarinya mengucapkan kata-kata "bapak" misalnya, ia (sang anak) tidak bisa menirukan. Bila hal ini terjadi terus menerus, dalam arti sama sekali tidak bisa mendengar dan menirukan ucapan dan perkataan ibunya, maka dapat dipastikan anak tersebut akan menjadi orang yang bisu.
Dari pendapat ahli filsafat dan dukun bayi tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa telinga memiliki perananan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang apabila kita bahas tentu akan memenuhi banyak halaman. Namun, di sini saya tidak akan membicarakan masalah telinga lebih mendalam, melainkan hanya sekedar memberi pengantar berkenaan dengan kisah Ki Bandos yang putus cinta gara-gara telinga. Bahkan ia pun pernah ngerjain seorang dokter ketika ia memeriksakan telingannya di sebuah rumah sakit di kota Serang Banten. Oleh karenanya, kisah ini diberi judul "Dokter THT".
Untuk itu, mari kita simak dan kita dengarkan kisah selengkapnya yang akan disampaikan langsung oleh Ki Bandos, sebagai orang yang punya cerita dan merupakan pemeran utama di situs ini. Silakan Ki Bandos... !
O-oii ... ! Aku disuruh bercerita tentang pengalamanku yang pernah kualami pada beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 80-an, di mana pada saat itu aku masih duduk di bangku sekolah di sebuah SMP Negeri Serang Banten. Sebenarnya sih aku keberatan untuk menceritakan pengalamanku itu, tetapi oleh karena Om Syekh selalu membujukku supaya aku bersedia menceritakannya, ya apa boleh buat, yang penting kisah tentang pengalamanku ini bisa tampil di internet.
Menurut penilaian Om Syekh, bahwa aku ini (Ki Bandos) termasuk orang yang memiliki perjalanan hidup dan pengalaman yang unik dan lucu, di mana tingkah laku, sikap dan penampilanku kadang-kadang seperti orang pandai, alim, cerdik dan cerdas, tatapi kadang-kadang juga seperi orang bego, bodoh, dungu dan tolol. Om Syekh pernah berkata kepadaku: "Sebenarnya kamu itu termasuk orang yang pintar, cerdik dan cerdas, tetapi berlagak bego", anehnya, Om Syekh juga pernah bilang : "Kamu itu orang yang paling bego di dunia ini, tapi berlagak pintar". Mana yang benar yaa ... ???
Aah ...! Itu kan hanya sebuah penilaian. Silakan saja Om Syekh mau menilai apa tentang diriku, terserahlah, aku tak peduli. Sebab, yang namanya kepintaran itu bukan berasal dari pujian dan sanjungan seseorang, melainkan dari kenyataan yang ada pada diriku sendiri. Kalau memang dalam kenyataannya diriku termasuk orang yang pintar, maka pasti akan tetap pintar, meskipun seribu orang mengatakan dan menilai diriku bego, dungu, bodoh dan tolol. Begitu juga sebaliknya, walaupun berjuta-juta orang menyanjung-nyanjung diriku sebagai orang pintar misalnya, kalau kenyataannya bego, maka tetap saja aku akan menjadi orang bego, dungu, bodoh dan tolol. Abadan abidin. Iya kan?
Nah ...!, dari pada kita pusing-pusing mikirin omangan Om Syekh yang membingungkan itu, lebih baik kita bernostalgia aja yuk ... ! Mari ..., sambil ngalor ngidul kita berbicara soal cinta, putus cinta, manisnya cinta, pahitnya cinta, lika-liku bermain cinta, putus lagi, nyambung lagi, dan lain sebagainya. Siapa tahu di antara mantan-mantan kekasihku dulu, ada yang mau ng-klik dan membacanya, biar mereka yang merasa pernah berpacaran dengan aku, ketawa semua. Jadinya rame, kan? Hahahaha .... !!!
Oh iya, aku belum kenalan. Namaku Bandos. Om Syekh biasa memanggilku Ki Bandos. Nama ini bukan pemberian orangtuaku, melaikan pemberian dari pemilik dan pengelola situs ini. Ketika aku tanya arti "Bandos", dengan singkat Om Syekh menjawab: " Banyak Dosa". Pada mulanya aku tidak terima, tidak mau, karena aku menganggapnya sebagai penghinaan terhadap diriku, tetapi setelah mendapat penjelasan dari Om Syekh, akhirnya aku terima juga dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih dan tanpa imbalan, alias gratis. "Sebagai penghargaan", kata Om Syekh, "namamu akan kujadikan judul situs-ku". Waao ..., aku akan menjadi orang terkenal nih ...!!! Hehehehe .....
Okey, sekarang mari kita kembali ke judul cerita, yaitu "Dokter THT 1". Namun, sebelumnya terlebih dahulu aku ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca sekalian, bahwa yang sebenarnya kisah "dokter telinga" ini akan dipublikasikan pada episode yang kesekian kalinya, akan tetapi oleh pengelola situs diharuskan supaya ditayangkan pada episode pertama dengan tujuan untuk memberi pekerjaan rumah (PR) kepada segenap pembaca. Di mana Om Syekh telah menyediakan hadiah bagi pembaca setia yang mengirim jawaban pada episode yang ke 10 nanti. Barangsiapa dapat mengurutkan kisah dalam kisah Ki Bandos Nyantri, mereka akan mendapat hadiah PULSA sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) untuk 10 orang/permbaca yang tercepat mengirimkan jawaban. Tentu saja jawaban yang terpilih adalah jawaban yang tepat dan benar. Adapaun caranya cukup menyebutkan nomor urut yang sebenarnya dan judul ceritanya, misalnya : 1. ...., 2. ...., 3. ..... s/d 10. Dokter THT. Nomor urut dan judul kisah yang terakhir ini, merupakan bocoran dari aku, dan anggap saja sebagai bonus atau hadiah untuk pembaca sekalian. Dijamin pasti benar. deh ... !!! Okey? Semoga Anda termasuk orang yang beruntung. Dan untuk selanjutnya perkenankanlah aku akan bercerita tentang dokter THT.
Bicara masalah TELINGA, jadinya aku teringat pada mantan kekasihku tempo dulu, Yayah Holiyah namanya. Dia adalah seorang gadis cantik berasal dari Kota Serang. Anak pertama dari seorang saudagar ternama nan terkenal. Terkenal karena kejujuran dan kekayaannya. Jujur dalam berniaga, kaya akan harta benda. Terkenal pula akan ketakwaan dan ketaatannya dalam beragama. Bahkan kedermawanannya pun menjadi buah pembicaraan bagi setiap pedagang di seluruh kota, baik pedagang di kota Cilegon, kota Serang, kota Tangerang, maupun di kota-kota lainnya. Perinsip berniaga yang dijadikannya sebagai pedoman, adalah sebuah sabda baginda Nabi Muhammad saw., yaitu : "Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mudah dalam berjual-beli", sebuah pedoman yang patut kita tiru dan kita ikuti.
Sebagai anak pertama dari tiga orang bersaudara, Yayah Holiyah memiliki sifat dan budi pekerti yang sangat mulia, luhur akan akhlaknya, dan kepribadiannya pun luar biasa hebatnya. Lemah lembut dalam bertutur bahasa, menambah anggun dalam dia berbusana. Meskipun seragam sekolah yang dikenakan segenap siswa-siswi bercorak dan warnanya sama, tetapi bagi Yayah Holiyah memiliki nilai jauh berbeda dari yang lainnya. Apalagi bila kita perhatikan cara dia berjalan. Wao... sungguh tidak ada duanya. Tatapan matanya tidak pernah plarak-plirik seperti kebanyakan gadis-gadis atau wanita-wanita lainnya. Uraian rambut panjang ikal berwarna hitam kelam, menambah ayu akan raut wajahnya yang keibuan. Kedua belah bibirnya merah alami, laksana buah delima. Bila kuperhatikan bulu alis dan kerlingan bola matanya, waah ..., sulit sekali aku menggambarkannya. Dia betul-betul gadis manis, cantik nan sempurna.
Sungguh bahagia hatiku mempunyai seorang kekasih yang cantiknya bagaikan bidadari. Nasehat-nasehatnya senantiasa menyejukkan hati, laksana embun di pagi hari. Ketulusan dalam setiap kali menyampaikan nasehatnya kepadaku, membuat hatiku luluh dan tak bosan-bosan untuk selalu mendengarkannya. Dengan nada manis yang memikat hati, dia berkata kepadaku: "Hidup di Pesantren tidak seperti hidup di rumah sendiri. Di rumah sendiri mungkin segala kebutuhan selalu ada dan tersedia, tetapi di Pesantren belum tentu. Oleh karena itu, AA harus pandai-pandai mengatur dan menghemat keuangan. Jangan sampai kekurangan apalagi kehabisan".
Itulah di antara nasehat yang pernah kudengar dari seorang kekasih pujaan dan tambatan hati. Sebuah nasehat yang patut kuresapi dan kutanamkan di lubuk hati. Sebagai bekal bagi diriku selama aku menjadi santri. Dalam usianya yang masih muda belia, dia senantiasa mengucapkan kata-kata yang bermakna, yang mampu membesarkan jiwa, sehingga aku merasa bahwa hidup ini semakin indah dan lebih berguna.
Bukan hanya nasehat yang dia berikan kepadaku, tetapi banyak juga yang lainnya yang tak perlu kusebutkan satu persatu. Selama aku bermain cinta dengannya, hampir setiap hari aku minum dan makan jajan selalu berdua. Sebagai lelaki, sebenarnya aku merasa sangat malu. Akan tetapi dia sendiri berulangkali meyakinkan pada diriku, bahwa orang tuanya sengaja menambah uang jajannya agar dia bisa makan dan minum bersamaku. Ketika aku tanya sikap kedua orang tuanya terhadap diriku, dia menjawab: "Orang tuaku sangat memahami kehidupan seorang santri, karena beliau juga termasuk alumni sebuah Pondok Pesantren. Mengenai diri AA, aku sudah menceritakan apa adanya, dan orang tuaku merasa senang dan bahagia mendengarnya. Sejak saat itulah, orang tuaku berjanji akan menambah uang jajan padaku dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Jadi, uang jajan yang diberikan oleh orang tuaku itu, adalah untuk kita berdua".
Sungguh mati, jantungku berdebar-debar ketika mendengar jawaban sang kekasih yang sedemikian rupa itu. Lebih-lebih pada saat dia mengucapkan kata-kata, "... untuk kita berdua", masya Allah, sepertinya aku hidup di alam mimpi, dan jiwaku melayang-layang seakan-akan hidup di alam syurga. Andai saja bukan karena kenyataan yang tak terbantahkan, pastilah aku tidak akan percaya pada ucapannya, bahkan sangat mungkin akan kuanggap sebagai bualan belaka. Namun, sebagaimana telah kuceritakan di atas, bahwa dia adalah seorang gadis ayu yang dianugerahi budi pekerti yang mulia dan berakhlaqul karimah. Kejujuran dalam bertutur kata senantiasa menghiasai kepribadiannya. Jiwa keikhlasan dan ketulusannya, adalah laksana sekuntum bunga yang selalu menyelimuti kelembutan hatinya. Dia sangat mencintai diriku, dan aku pun sangat mencintai dirinya. Kami berdua saling mencintai dan saling menyayangi.
Kini aku yakin, bahwa diriku tidak sedang dalam mimpi, melainkan sedang duduk bersanding dan bersenda gurau bersama sang buah hati di alam nyata, di bawah naungan sebatang pohon bunga tanjung yang rindang di pinggir lapangan olahraga, milik pemerintah daerah tingkat dua. Hanya saja pikiranku menjadi bingung. Bingung dalam mencari kalimat yang patut kuucapkan untuk membalas kebaikan kedua orang tuanya. Perkataan apakah gerangan yang pantas kusampaikan kepadanya? Ooh ..., aku tidak tahu. Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali, karena hatiku terpaku mendengar untaian kata sang kekasihku tadi. Akan tetapi, tanpa sengaja aku berkata kepadanya : "Sejak kapan kau jatuh cinta pada diriku?"
"Astaghfirullaah ...", demikian hatiku ber-istighfar, sebagai tanda penyesalan atas ucapanku itu. Sungguh, aku telah mengeluarkan perkataaan yang membuat diriku malu sendiri, karena perkataan yang semacam itu hanya patut diucapkan oleh mereka yang tidak tahu diri. Aku menyesal karena telah menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kutanyakan. Dan aku pun menyadari bahwa pertanyaanku itu tidak pantas ditujukan kepada dirinya, karena dia adalah seorang gadis terhormat dan berderajat, berasal dari keluarga yang terhormat dan berderajat pula. Bila dibandingkan dengan diriku, sungguh jauh berbeda, bagaikan langit dengan bumi. Dia berasal dari keluarga berada yang kaya raya, sementara aku berasal dari keluarga miskin nan papa. Dia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah kota, sedangkan aku dilahirkan di pinggiran desa. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, dan karena memang sudah terlanjur, maka bagaimana pun juga aku harus berusaha untuk tetap menyembunyikan dan menutupi penyesalanku itu, agar tidak mengganggu suasana hangatnya berduaan di sore hari itu.
Dengan raut wajahnya yang berseri-seri, disertai senyum simpul yang terbit dari kedua belah bibirnya yang manis, jawabannya singkat tapi jelas, ditambah dengan suara manjanya yang khas, sambil menggenggam jari-jemari tanganku erat-erat, dia berkata : "Ketika AA menyanyikan lagu Gugur Bunga".
"Aduhaiii ....", demikianlah hatiku berseru. Berseru karena terharu. Terharu karena mendengar ungkapan kata yang penuh kemanja-manjaan, yang dapat menggetarkan kalbu. Di samping itu, diriku pun termangu-mangu, karena aku merasa bahwa, selama aku belajar di sekolah itu tidak pernah menyanyikan lagu Gugur Bunga. Namun, setelah aku ingat-ingat kembali ternyata benar juga, bahwa aku pernah menyanyikannya seorang diri di atas panggung yang megah, sekitar dua tahun yang lalu, yaitu pada sebuah acara perkenalan siswa siswi baru, kelas satu, yang diselenggarakan setiap awal tahun ajaran baru. Pada saat itulah kunyanyikan lagu itu, dengan suaraku yang merdu, sebagai wakil dari kelas satu, yang kupersembahkan untuk bapak dan ibu guru serta kakak-kakak kelasku.
Aku sama sekali tidak pernah mengira, apalagi bercita-cita, bila kesahduan dan kemerduan suaraku dalam bernyanyi, akan membekas dan dapat memikat hati seorang gadis yang cantik jelita. Aku pun tak pernah bermimpi, bila saat ini si dia dengan setia duduk bersimpuh di sampingku, bersenda gurau sambil menikmati indahnya panorama alam di sekelilingku. "Wahai ... Yayah Holiyah kekasihku ..., janganlah kau tinggalkan diriku seorang diri ...", itulah suara hatiku, yang selalu bersenandung sepanjang waktu.
Demikianlah kisah cinta ini ..., cinta suci dan menawan hati ..., yang pernah kualami. Hari demi hari kulalui dengan penuh kemesraan dalam bercinta..., minggu demi minggu kujalani dengan penuh kehangatan dalam bercanda ..., bulan demi bulan kulewati dengan penuh kebahagiaan dalam jalinan asmara ..., bersama sang kekasih yang tercinta ..., si gadis manis dambaan hati ..., Yayah Holiyah sang bidadari..., yang tak mungkin dapat terganti.
Namun, kemesraan ..., dan kehangatan ..., serta kebahagiaan ..., yang pernah kualami dan kurasakan selama enam bulan itu, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sangat menyesakkan dada, seakan-akan diriku tak berguna dan tak berharga, karena orang yang selama ini aku sayangi dan aku cintai, bahkan selalu aku sanjung-sanjung sepanjang hari dan malam itu, dengan tanpa kuduga mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan jiwa, dan membuat hatiku merana dalam kegalauan cinta.
Seandainya aku tahu, bahwa seorang gadis yang memanggil-manggil di seberang jalan itu adalah si dia, dan jika aku mengerti bahwasanya yang dimaksud orang yang dipanggil itu adalah diriku, maka pastilah akan kusambut dengan segera ..., tanpa kutunda ..., kudekati ..., lalu kupeluk dan kucium pipinya yang berlesung pipit itu dengan penuh mesra, sebagai tanda kasih sayang yang tak terhingga dari aku. Dengan demikian dapatlah dipastikan pula, bahwa dia tidak akan melontarkan perkataan yang menyebabkan retaknya jalinan cinta.
Dan seandainya pula, dia panggil diriku dengan menyebut nama, atau dengan memanggil namaku, Bandos ...., Bandos ...., misalnya, maka dapatlah kiranya dipastikan bahwa aku akan segera memenuhinya ..., kuhampiri dirinya ..., lalu kupegang erat-erat tangannya yang halus mulus sehalus sutra itu, kemudian kubawa pergi, sambil bergandengan tangan, berjalan-jalan mengelilingi arena upacara peringatan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di kota Cilegon, yang telah lalu. Dengan demikian, dapatlah kiranya dipastikan bahwa dia tidak akan mengucapkan kata-kata yang mengakibatkan terputusnya jalinan asmara.
Namun, di sini bukanlah tempatnya dan bukan pula waktunya untuk berandai-andai, karena semuanya sudah terjadi. Biarlah lidah mengatakan "tak perlu disesali", meskipun hati berkata "oh ..., sungguh berat sekali". Kiranya cukuplah sampai di sini, semoga dapat berjumpa lagi di lain kali. Untuk selanjutnya waktu dan tempat kuserahkan kembali, kepada Om Syekh pengelola situs ini. Tafaddlol yaa Om Syekh ....!
Saya sampaikan terimakasih kepada Ki Bandos yang telah menceritakan sebagaian kecil dari pengalamannya. Menurut pendapat seorang pengembara, bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik bagi kita, dengan kata lain, guru yang paling baik adalah pengalaman. Sehingga, orang arif dan bijak berkata bahwa, "Barangsiapa sedikit pengalamannya, maka sedikit pula kebaikannya. Dan barangsiapa banyak pengalamannya, maka banyak pula kebaikannya." Dalam pengertian bilamana mau mengambil pelajaran dari pengalamannya itu.
(Bersambung : Dokter Telinga 2)

Selasa, 09 Juni 2009

Makna Di Balik Kisah

Di balik kisah Ki Bandos Nyantri, khususnya pada episode Dokter THT, terkandung makna yang sangat dalam yang tidak mudah dipahami. Misalnya, mengenai perkataan Ki Bandos : " ... Aku disuruh bercerita tentang pengalamanku yang pernah kualami pada beberapa puluh tahun yang lalu ....". Pendekatan maknanya adalah : " .... Aku disuruh membaca buku catatan amal perbuatanku yang telah aku lakukan ketika aku hidup di dunia ..." Bila kata "Aku", diganti dengan kata "manusia", dan kata "disuruh" diganti dengan kata "akan", maka kalimat tersebut menjadi : " .... Manusia akan membaca buku catatan amal perbuatannya yang telah ia lakukan ketika hidup di dunia ..."
Maksud dan tujuan kalimat tersebut, adalah : Ki Bandos memberitahukan kepada kita bahwa kelak di alam akhirat semua manusia akan menerima buku catatan amal perbuatannya masing-masing. Oleh karena setiap manusia akan menerima dan membaca buku catatan amal perbuatannya sendiri, maka hal (keadaan) ini dipahami oleh Ki Bandos sebagai suatu keadaan yang seakan-akan mereka menceritakan amal perbuatannya sendiri yang telah mereka lakukan ketika hidup di dunia.
Kata Ki Bandos : " ..., tepatnya sekitar tahun 80-an", sebagai gambaran jarak antara kehidupan alam dunia dengan kehidupan alam akhirat yang tidak terlalu jauh, artinya dekat. Di samping itu, Ki Bandos juga membuat suatu perkiraan mengenai umur manusia, yaitu rata-rata 80 tahun. Dengan umur 80 tahun itu, bila dibandingkan dengan umur kehidupan di alam akhirat sungguh tidak ada artinya samasekali. Karena kehidupan alam akhirat adalah bersifat kekal abadi, sedangkan kehidupan alam dunia bersifat sementara. Kemudian, kata Ki Bandos : " ..., di mana pada saat itu aku masih duduk di bangku sekolah, ..." "Bangku sekolah", adalah tempat belajar dan mencari ilmu, dengan ilmu itu manusia memperoleh kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu hidup sejahtera, bahagia lahir dan batin. Begitu juga alam dunia ini, yaitu sebagai tempat untuk mewujudkan cita-cita dengan cara beribadah dan beramal sholeh, dengan kata lain sebagai tempat bercocok tanam, agar kelak di hari kemudian mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan abadi. Dengan demikian, "alam dunia" adalah laksana "bangku sekolah". Lalu " ... di mana pada saat aku masih duduk ....", kalimat ini mengandung makna bahwa selama manusia masih hidup di dunia, mereka masih memiliki kesempatan yang luas untuk melakukan sesuatu yang sekiranya dapat menyelamatkan dirinya, sebagimana seorang siswa yang masih duduk di bangku sekolah dalam pengertian masih belajar, mereka memliki kesempatan yang luas untuk memperdalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan.
Kata Ki Bandos : " ... di sebuah SMP Neger Serang Banten." SMP Negeri Serang Banten adalah nama sebuah lembaga pendidikan milik pemerintah yang telah dikenal oleh masyarakat. Ini berarti keberadaan lembaga pendidikan tersebut memang benar-benar ada. Hal ini sebagai analogi tentang keberadan alam dunia yang keberadaanya tidak pernah ada yang mengingkari.
Kemudian, kata Ki Bandos : "Sebenarnya aku keberatan untuk menceritakan pengalamanku itu...". Kalimat ini sebagai gambaran tentang keadaan manusia kelak di alam akhirat pada saat mereka menerima buku catatan amal perbuatannya. Di antara mereka ada yang senang dan ada pula yang susah. Oleh karena segala ketentuan tetap berlaku pada saat itu, maka semua manusia, suka atau tidak suka, tetaplah mereka menerima catatan amal perbuatannya itu. Situasi yang semacam ini digambarkan dalam kalimat " ... tetapi oleh karena Om Syekh selalu membujukku supaya aku bersedia untuk menceritakannya, ya apa boleh buat, ..." Kalimat "... ya apa boleh buat ... ", adalah gambaran tentang rasa keputus-asaan orang-orang yang kurang beruntung.
Selanjutnya Ki Bandos berkata : "... yang penting kisah pengalamanku itu bisa tampil di internet". Internet adalah salah satu media elektronik tercanggih saat ini yang kehebatannya tak purlu aku terangkan. Kalimat sebagaimana dikatakan Ki Bandos tadi, mengandung makna bahwa segala amal perbuatan manusia ketika di dunia akhirnya akan diketahui juga oleh orang lain kelak di alam akhirat, karena mereka saling menceritakan amal perbuatannya, baik salah maupun benar.
Itulah makna yang terkandung dari kisah Ki Bandos Nyantri, episode Dokter THT 1, bait ke-1. Dan sebagai misal yang kedua, marilah kita ambil bait terakhir dari episode Dokter THT1, yaitu : "Namun, di sini bukanlah tempatnya dan bukan pula waktunya untuk berandai-andai, karena semuanya sudah terjadi. Biarlah lidah mengatakan "tak perlu disesali", meskipun hati berkata "Oh ... sungguh berat sekali".
(Bersambung)